Pemerintah secara resmi mencabut proyek pengembangan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 dari daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). Keputusan yang sempat mengejutkan publik ini dianggap menandai babak baru dalam arah kebijakan ekonomi Presiden Prabowo Subianto, yang dinilai mulai melakukan “pembersihan” terhadap dominasi kelompok konglomerat besar yang selama ini disebut sebagai “9 Naga.”
Langkah pencabutan PIK 2 sebagai PSN dituangkan dalam perubahan lampiran Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang ditandatangani pada akhir September 2025. Dalam dokumen itu, PIK 2 yang sebelumnya tercatat sebagai proyek sektor pariwisata dihapus dari daftar PSN aktif.
Menurut sumber di Kemenko Perekonomian, keputusan ini didasarkan pada hasil evaluasi yang menunjukkan bahwa pengembangan kawasan PIK 2 lebih bersifat komersial properti ketimbang kepentingan publik strategis sebagaimana yang menjadi dasar penetapan PSN.
Pengamat politik dan sosial Farid Idris menilai langkah ini sebagai sinyal kuat bahwa Prabowo mulai melucuti peran dominan jaringan konglomerat lama yang selama ini menguasai ekonomi nasional. Ia menyebut pencabutan status PSN PIK 2 bukan keputusan teknis semata, tetapi kebijakan dengan makna politik dan sosial yang dalam.
“Selama ini PIK 2 selalu menakut-nakuti rakyat bahwa proyek itu adalah PSN. Artinya, kalau melawan berarti melawan negara. Kini dengan pencabutan status itu, rakyat tidak lagi dibayangi ketakutan hukum atau kekuasaan. Prabowo sedang menegaskan bahwa negara tidak boleh menjadi tameng oligarki,” ujar Farid Idris kepada wartawan, Selasa (14/1/2025).
Menurut Farid, Prabowo memiliki komitmen untuk menata ulang peta ekonomi agar lebih berpihak pada pengusaha pribumi dan daerah, bukan hanya pada kelompok elit lama yang dekat dengan kekuasaan di masa pemerintahan sebelumnya.
“Presiden Prabowo ingin membuka ruang yang lebih adil bagi para pengusaha nasional, terutama tokoh-tokoh seperti Haji Isam yang selama ini berjuang membangun industri di daerah. Ini bukan soal anti-investor, tapi tentang menyeimbangkan ulang struktur ekonomi agar tidak terkonsentrasi di tangan segelintir orang,” tambah Farid.
Pantai Indah Kapuk 2 sebelumnya ditetapkan sebagai PSN pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Proyek ini dikembangkan oleh Agung Sedayu Group dan Salim Group, dua kekuatan ekonomi besar yang selama ini dikenal punya jaringan kuat di pemerintahan dan perbankan nasional.
Sebagai PSN, PIK 2 mendapatkan sejumlah fasilitas istimewa: kemudahan perizinan, percepatan izin tata ruang, hingga akses dukungan infrastruktur dari kementerian teknis. Namun, status “proyek strategis negara” ini juga menimbulkan keresahan di kalangan warga sekitar dan aktivis lingkungan.
Dengan label PSN, proyek tersebut sering kali sulit disentuh oleh hukum daerah dan pengawasan publik. Banyak warga menilai bahwa pengembang PIK 2 “kebal” dari kritik dan aduan, karena berlindung di balik status PSN.
Pencabutan ini secara langsung menghapus privilese tersebut. Kini, segala bentuk perizinan, reklamasi, hingga pengelolaan kawasan wisata dan perumahan harus tunduk pada aturan umum pemerintah daerah dan kementerian teknis terkait, tanpa proteksi politik dari pusat.
Langkah pencabutan PIK 2 dari PSN juga dipandang sebagai simbol dari politik ekonomi nasionalis yang ingin ditegakkan Prabowo.
Selama satu dekade terakhir, banyak proyek besar di Indonesia dikendalikan oleh kelompok usaha yang sama—yang dikenal sebagai 9 Naga—kelompok konglomerat yang menguasai sektor properti, perbankan, makanan, dan logistik.
Prabowo, menurut Farid Idris, memahami bahwa kekuatan ekonomi semacam ini tidak boleh terus dibiarkan tumbuh tanpa keseimbangan. Jika dibiarkan, kelompok tersebut bisa mengontrol kebijakan negara dari belakang layar. “Presiden Prabowo adalah sosok yang memahami pentingnya kedaulatan ekonomi. Ia tidak ingin negara dikendalikan oleh segelintir taipan. Mencabut PIK 2 dari PSN adalah bentuk nyata untuk menegaskan bahwa Indonesia milik seluruh rakyat, bukan hanya milik beberapa keluarga konglomerat,” tegas Farid.
Pencabutan PIK 2 dari PSN bukan tanpa risiko. Pasar modal merespons dingin kebijakan ini; saham-saham perusahaan yang terafiliasi dengan proyek PIK 2 dilaporkan mengalami koreksi pada pekan pertama Oktober 2025.
Namun, bagi banyak pengamat, ini adalah harga yang harus dibayar untuk membangun ekonomi nasional yang lebih sehat.
Kebijakan ini sekaligus menjadi peringatan bagi para pengusaha besar bahwa pemerintah tidak lagi memberikan perlakuan istimewa berdasarkan kedekatan politik. Negara kini menginginkan kemitraan yang setara dan berbasis produktivitas nyata, bukan monopoli jaringan. “Para pengusaha harus beradaptasi dengan era baru. Pemerintah bukan musuh bisnis, tapi bukan juga pelindung segelintir korporasi. Yang dilindungi adalah keseimbangan ekonomi nasional,” kata Farid Idris.
Sejak awal masa pemerintahannya, Prabowo kerap menekankan pentingnya kemandirian ekonomi nasional dan pemerataan investasi hingga ke daerah. Dalam beberapa pidatonya, ia menyebut bahwa “ekonomi harus tumbuh dari bawah, bukan hanya dari puncak piramida.”
Langkah mencabut PIK 2 dari PSN dianggap sejalan dengan prinsip tersebut. Ia menjadi simbol bahwa pemerintah mulai berani mengoreksi kebijakan ekonomi yang selama ini terlalu berpihak pada oligarki.
Ke depan, Prabowo disebut akan memperkuat dukungan pada sektor industri dasar, pertanian, energi rakyat, dan UMKM. Ia juga diprediksi akan memberi ruang lebih besar bagi pengusaha daerah dan pribumi yang selama ini tersisih dari proyek besar nasional.
Pencabutan status PSN PIK 2 menjadi momentum penting dalam perjalanan ekonomi-politik Indonesia. Ia bukan hanya soal proyek pariwisata yang dihapus dari daftar strategis, tetapi juga simbol pergeseran kekuasaan dari tangan konglomerat lama menuju sistem yang lebih terbuka dan berkeadilan.
Langkah ini sekaligus menunjukkan gaya kepemimpinan Prabowo: tegas, berani, dan berorientasi pada kemandirian bangsa.
“Jika kebijakan seperti ini konsisten dijalankan,” kata Farid Idris menutup, “maka Indonesia bisa benar-benar keluar dari bayang-bayang 9 Naga dan menegakkan ekonomi yang berdaulat di tangan rakyat sendiri.”