Gus Sahal: Pengasuh Pondok Pesantren Al-Khoziny Harus Diadili

Aktivis Nahdlatul Ulama (NU) Ahmad Sahal atau yang akrab disapa Gus Sahal menyoroti tragedi di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo, yang menelan korban 67 santri meninggal dunia akibat runtuhnya bangunan asrama. Menurutnya, peristiwa ini bukan sekadar musibah, tetapi tragedi kelalaian yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum oleh pengasuh pesantren.

“Wajar NU marah terhadap Trans7 yang menghina pesantren dan merendahkan kiai. Tapi NU juga harus marah terhadap kelalaian pengasuh pesantren Al-Khoziny yang menyebabkan 67 santri meninggal,” tegas Gus Sahal di akun media sosialnya, Selasa (14/10/2025).

Menurutnya, melindungi nyawa manusia merupakan tujuan tertinggi dalam syariat Islam (maqashid al-syari‘ah). Karena itu, siapa pun yang lalai hingga menyebabkan hilangnya nyawa para santri harus diproses hukum, termasuk kiai pengasuh pesantren.

“Melindungi nyawa adalah tujuan tertinggi syariah. Kiai yang gagal melindungi nyawa santri harus diadili,” tegasnya.

Insiden runtuhnya bangunan di Ponpes Al-Khoziny terjadi pada Jumat sore pekan lalu. Saat itu, ratusan santri tengah menunaikan salat Ashar berjamaah di bangunan yang baru selesai direnovasi. Tiba-tiba, atap dan dinding runtuh menimpa mereka.
Sebanyak 67 santri meninggal dunia, puluhan luka berat, dan belasan lainnya masih dirawat intensif di rumah sakit.

Tim SAR dan BPBD Sidoarjo membutuhkan waktu lebih dari 12 jam untuk mengevakuasi seluruh korban dari reruntuhan. Pemeriksaan awal menemukan bahwa bangunan tersebut sedang dalam tahap peninggian dan perluasan. Diduga kuat, konstruksi tambahan dilakukan tanpa izin mendirikan bangunan (IMB) dan tidak sesuai dengan standar teknis keamanan.

Polisi telah memasang garis polisi di lokasi dan memeriksa sejumlah pihak, termasuk tukang bangunan, mandor proyek, serta perwakilan yayasan pesantren.

Gus Sahal menegaskan, cinta terhadap pesantren tidak berarti menutup mata terhadap kelalaian yang mengakibatkan kematian massal. Ia menyebut bahwa tanggung jawab moral dan hukum pengasuh pesantren tidak bisa dihindari, sebab keselamatan santri adalah amanah utama seorang kiai.

“Kalau sebuah gedung ambruk karena kesalahan teknis dan perizinan diabaikan, lalu puluhan santri tewas, itu bukan takdir, tapi kelalaian manusia,” kata Gus Sahal.

Menurutnya, umat Islam harus membedakan antara bencana alam dan tragedi akibat kesalahan tata kelola dan kecerobohan. “Menutup kasus dengan dalih sabar dan takdir justru bertentangan dengan ajaran Islam yang menempatkan perlindungan jiwa di atas segalanya,” tambahnya.

Dalam beberapa hari terakhir, perhatian publik juga tertuju pada kontroversi tayangan Trans7 yang dianggap menghina pesantren dan merendahkan para kiai. PBNU dan organisasi sayapnya mengecam keras, bahkan sejumlah kelompok menuntut Trans7 diproses hukum.

Namun, menurut Gus Sahal, kemarahan terhadap Trans7 harus diimbangi dengan amarah moral terhadap kelalaian yang menewaskan santri-santri NU sendiri.

“Kalau NU bisa bersuara lantang terhadap media yang menyinggung pesantren, mestinya NU juga bersuara lantang terhadap kelalaian yang membunuh santri,” ujarnya.

Ia mengingatkan, jika NU ingin menjaga martabat pesantren, maka reformasi pengawasan keselamatan dan tata kelola pesantren harus segera dilakukan.

Kapolresta Sidoarjo Kombes Pol Kusumo Wahyu Bintoro mengatakan, pihaknya telah memeriksa sejumlah saksi terkait pembangunan dan izin bangunan pesantren. “Kami mendalami aspek teknis pembangunan, izin, dan siapa pihak yang bertanggung jawab,” katanya.

Sementara itu, Bupati Sidoarjo juga telah memerintahkan Dinas Cipta Karya untuk melakukan audit struktur bangunan pondok-pondok pesantren di wilayahnya. Langkah ini dilakukan untuk mencegah tragedi serupa di masa depan.

Keluarga korban berharap pemerintah dan aparat penegak hukum bertindak adil. “Kami tidak ingin kejadian ini ditutup-tutupi. Kalau ada yang lalai, harus dihukum,” kata Ahmad Yasin, salah satu wali santri korban.

Peristiwa ini memicu perdebatan luas di kalangan aktivis dan intelektual Islam. Banyak yang menilai tragedi Al-Khoziny seharusnya menjadi momentum muhasabah besar bagi pesantren-pesantren tradisional untuk memperhatikan aspek keselamatan dan tata kelola yang profesional.

Tragedi Al-Khoziny telah menelanjangi dua wajah realitas pesantren: di satu sisi menjadi benteng moral dan pendidikan umat, namun di sisi lain masih rentan terhadap kelalaian tata kelola dan minimnya pengawasan keselamatan.

Pernyataan Gus Sahal menggugah kesadaran publik bahwa “kesucian pesantren tidak boleh menjadi tameng bagi kelalaian yang mematikan.”
Kiai dan pengasuh pesantren memiliki tanggung jawab bukan hanya mendidik, tapi juga melindungi nyawa para santrinya.

“Kiai yang gagal melindungi nyawa santri, harus diadili — bukan untuk menjatuhkan pesantren, tapi untuk menegakkan nilai keadilan dan kemanusiaan,” tutup Gus Sahal.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News