Oleh: Firman Tendry, SH Advokat / Aktivis 98.
L’ histoire se repete terasa benar adanya. Ya, sejarah berulang. Dan sejarah adalah guru terbaik kata Cicero, Kaisar Agung Romawi.
Dalam kamus politik kekuasaan ada istilah yang bisa bekerja dalam demokrasi dan ia lebih kelam daripada diksi oligarkhi, kleptokrasi. Apa istilah kekuasaan itu.
Anda benar. “Kakistocracy.”
Istilah ^Kakistocracy” (kakistokrasi) yang berarti “pemerintahan oleh orang-orang terburuk atau yang paling tidak kompeten, jahiliyyah” (government by the worst) pertama kali digunakan pada abad ke-17.
Namun, yang sering dianggap sebagai tokoh yang mempopulerkan istilah tersebut dalam literatur modern adalah penulis Inggris Thomas Love Peacock (1785–1866).
Istilah ini sendiri berasal dari bahasa Yunani: kákistos yang berarti “terburuk” dan kratos yang berarti “kekuasaan” atau “pemerintahan”.
Kakistokrasi: Ketika Bangsa Dipimpin oleh yang Terburuk
Seorang kaisar Romawi kuno pernah menulis, “Historia magistra vitae est” — sejarah adalah guru kehidupan.
Tampaknya, masyarakt bangsa ini sering membolos pada bab tentang kemunduran peradaban. Sebab jika kita jujur menatap cermin, yang tampak bukan republik yang sedang tumbuh, melainkan kebun binatang kekuasaan: tempat para oportunis berseragam pejabat berakrobat dengan dalih moralitas.
Di tengah slogan pembangunan yang bising, di balik layar demokrasi yang tampak hidup namun mati di dalam, kita sedang hidup di zaman Kakistokrasi — pemerintahan oleh mereka yang paling buruk, paling culas, dan paling tidak bermoral. Bukan demokrasi yang beradab, bukan teokrasi yang bermakna, apalagi meritokrasi yang menilai dari kemampuan. Ini adalah negara yang dikuasai oleh para medioker, di mana kebodohan dijadikan tiket masuk kekuasaan dan integritas dianggap pengkhianatan.
Negara Sebagai Lelucon Moral
Albert Camus pernah menulis bahwa absurditas lahir ketika manusia mencari makna di tengah kebisuan semesta. Tetapi dalam Kakistokrasi, absurditas itu justru diproduksi secara sadar. Kita menyaksikan negara dijalankan oleh keputusan-keputusan yang menista akal sehat — kebijakan yang menguntungkan segelintir kelompok orang, disahkan oleh tangan-tangan yang mengaku suci.
Negara ini menjadi teater moral yang kacau: para pejabat berpidato tentang integritas, sementara rekening mereka terus membengkak tanpa malu. Di parlemen, kebodohan disulap menjadi kepandaian lewat retorika kosong; di televisi, korupsi dikemas sebagai pengabdian; di panggung publik, penindasan disebut ketertiban.
Kakistokrasi bukan sekadar kesalahan dalam memilih pemimpin — ia adalah patologi kolektif, penyakit peradaban yang lahir dari kebiasaan mengorbankan kebenaran demi kenyamanan. Ia adalah simbol zaman ketika yang waras dianggap berbahaya, dan yang bejat dianggap biasa.
Islam Revolusioner: Tauhid Perlawanan
Dalam pandangan Islam yang revolusioner — sebagaimana digagas Ali Syariati — tauhid bukan hanya keyakinan teologis, melainkan prinsip politik dan sosial. Tauhid adalah pembebasan manusia dari segala bentuk perbudakan, termasuk perbudakan oleh kekuasaan. Dalam konsep itu, “La ilaha illallah” berarti tidak ada tuhan-tuhan palsu, tidak ada kultus individu, tidak ada oligarki yang disembah, tidak ada kekuasaan yang kebal kritik.
Kakistokrasi justru lahir ketika tauhid dikorupsi — ketika manusia kembali menyembah berhala modern: uang, jabatan, dan partai. Maka politik kehilangan ruhnya sebagai ibadah.
Ali Syariati menulis, “Setiap kali agama dijinakkan oleh penguasa, ia berhenti menjadi wahyu pembebasan dan berubah menjadi alat legitimasi tirani.” Di sinilah letak dosa besar bangsa yang membiarkan politik menunggangi agama tanpa kesadaran spiritual.
Islam sejatinya mengajarkan bahwa kepemimpinan adalah amanah yang berat, bukan panggung kehormatan. Rasulullah SAW menolak kekuasaan yang tidak berbasis pada keadilan. Umar bin Khattab bergetar ketika disebut amirul mukminin / pemimpin, karena ia sadar bahwa satu kambing mati kelaparan di pinggiran Madinah bisa menjadi pertanggungjawabannya di hadapan Tuhan.
Bandingkan dengan hari ini: berapa banyak pejabat yang tak merasa berdosa atas rakyat miskin yang digusur demi proyek mercusuar? Berapa banyak yang takut pada Tuhan saat menandatangani kebijakan yang mencederai nurani?
Tidak ada. Yang ada adalah generasi pemimpin tanpa takwa — cerdas berbohong, pandai bersandiwara.
Dari Nurani ke Revolusi
Kakistokrasi adalah bukti bahwa moralitas telah disingkirkan dari ruang publik. Ia bukan hanya krisis politik, tetapi krisis spiritual bangsa. Filsafat Islam mengajarkan bahwa masyarakat yang kehilangan rasa malu akan dihancurkan dari dalam — bukan oleh musuh luar, melainkan oleh korupsi jiwa.
Dalam filsafat Iqbal, manusia beriman adalah manusia yang bangkit melawan stagnasi, yang menolak tunduk pada sistem yang busuk. Iqbal menyebutnya mard-i-mu’min — manusia revolusioner yang hidup dengan kesadaran bahwa setiap tindakan adalah ibadah dan setiap ketidakadilan adalah bentuk kekafiran sosial.
Kita memerlukan kembali semangat itu — semangat tauhid yang membebaskan, bukan yang membius. Sebab politik tanpa spiritualitas adalah mesin kekuasaan tanpa rem; sementara spiritualitas tanpa keberanian hanyalah doa yang tidak pernah menyeberang ke tindakan.
Sejarah dan Penghakiman
Sejarah tidak pernah diam. Ia selalu mencatat, bahkan ketika bangsa memilih untuk lupa. Dari Babilonia hingga Bizantium, dari Orde ke Orde, setiap rezim yang menistakan moral akhirnya runtuh bukan oleh peluru, melainkan oleh pembusukan dari dalam.
Kakistokrasi adalah cermin masa depan yang menakutkan: bangsa yang membiarkan kebodohan memimpin sedang menandatangani surat kematiannya sendiri. Sebab kehancuran tidak datang dari serangan luar, tetapi dari kompromi terhadap kebusukan yang dianggap wajar.
Tauhid sebagai Revolusi Politik
Mungkin sudah saatnya kita kembali menafsirkan kalimat paling radikal dalam sejarah manusia: La ilaha illallah.
Bukan sekadar pernyataan iman, melainkan manifesto pembebasan. Bahwa tidak ada penguasa yang mutlak, tidak ada partai yang suci, tidak ada oligarki dan atau penguasa yang boleh disembah, dan tidak ada manusia yang lebih tinggi dari sesamanya kecuali karena moralitas dan akalnya.
Kakistokrasi hanya bisa dikalahkan dengan kesadaran tauhid yang hidup: ketika rakyat berhenti tunduk pada para penguasa palsu dan mulai tunduk hanya pada nilai kebenaran.
Sebab kekuasaan sejati bukanlah dominasi, melainkan keberanian untuk berkata benar di hadapan tirani. Dan sejarah — seperti Tuhan — tidak pernah berpihak pada mereka yang diam.