Pernyataan kontroversial kembali mengguncang jagat politik dan keagamaan nasional. Politikus Partai Demokrat, Rommi Irawan, melontarkan pernyataan tajam yang menyebut bahwa “keberadaan habaib bisa mengundang azab di suatu negeri.”
Rommi menilai bahwa bala dan bencana kerap menimpa negeri-negeri yang membiarkan dusta mengatasnamakan kemuliaan Nabi Muhammad SAW. Ia mencontohkan Yaman, tanah kelahiran banyak habaib, yang kini dilanda perang saudara berkepanjangan.
“Justru Yaman yang terkena bala’. Terjadi perang saudara berkepanjangan. Karena apa? Mengundang azab di suatu negeri, jika penduduknya berani-beraninya mengaku Cucu Nabi SAW, padahal dusta. Lalu dibiarkan oleh penduduk lainnya. Lihat kemuliaan Rasulullah dinodai, tapi diam,” ujar Rommi sebagaimana dikutip dari pernyataannya yang beredar di media sosial.
Pernyataan tersebut dengan cepat menyebar di berbagai platform media sosial, memicu pro dan kontra. Sebagian warganet menilai Rommi berbicara atas dasar “keprihatinan moral” terhadap klaim nasab palsu yang belakangan memang ramai diperbincangkan di ruang publik. Namun, tidak sedikit pula yang menilai ucapannya mengandung unsur kebencian terhadap kelompok habaib—keturunan Rasulullah SAW yang selama ini memiliki posisi terhormat di masyarakat Muslim Indonesia.
Dalam konteks sosial Indonesia, istilah habib tidak sekadar menunjukkan garis keturunan. Ia menyimbolkan otoritas moral dan keagamaan. Sejak era Walisongo hingga abad ke-19, para habaib dikenal sebagai penjaga dakwah Islam yang sejuk dan berakhlak mulia. Beberapa tokoh habaib bahkan menjadi ulama besar, seperti Habib Ali Kwitang, Habib Salim bin Jindan, dan Habib Umar bin Hafidz dari Yaman.
Pernyataan Rommi, yang mengaitkan keberadaan habaib dengan azab, dianggap menyederhanakan realitas sejarah dan berpotensi menyinggung martabat tokoh-tokoh ulama yang telah berjasa besar.
Beberapa analis melihat pernyataan Rommi tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik identitas yang terus bergulir pasca-Pemilu 2024.
Pengamat politik Rokhmat Widodo menilai bahwa ucapan seperti ini kerap lahir di tengah perebutan panggung opini publik.
“Ketika isu moral dan agama menjadi komoditas politik, ada kecenderungan sebagian politisi memakai diksi ekstrem untuk membangun citra ‘pembela kebenaran’. Tapi risiko sosialnya besar. Indonesia punya kultur menghormati habaib. Mengusik itu sama saja dengan bermain api,” ujar Rokhmat
Sementara itu, beberapa kader Partai Demokrat memilih berhati-hati. Salah satu petinggi partai yang enggan disebut namanya mengatakan bahwa partai belum mengeluarkan sikap resmi atas pernyataan Rommi. Namun, ia tidak menampik bahwa pernyataan itu bisa menimbulkan resonansi negatif terhadap citra partai.
“Kami masih menelusuri konteks ucapannya. Demokrat tidak ingin terjebak dalam kontroversi yang menyentuh ranah aqidah dan keagamaan,” ujarnya singkat.
Rommi menggunakan contoh Yaman sebagai negeri yang “terkena bala” karena keberadaan habaib. Pandangan ini dinilai tidak berdasar secara ilmiah maupun teologis.
Yaman mengalami perang saudara yang kompleks sejak 2014, dipicu oleh perebutan kekuasaan antara kelompok Houthi dan pemerintah, serta intervensi negara-negara Teluk. Konflik itu telah menimbulkan krisis kemanusiaan terburuk di dunia — bukan akibat faktor teologis, melainkan politik, ekonomi, dan geopolitik regional.
Rokhmat menilai bahwa mengaitkan konflik Yaman dengan “azab karena habaib” adalah kesalahan logika yang serius.
“Kalau Yaman terkena bala, itu karena perang dan perebutan sumber daya, bukan karena keberadaan habaib. Justru banyak habaib menjadi korban dan pengungsi akibat perang itu,” tegasnya.
Untuk memahami sensitivitas isu ini, penting melihat posisi habaib dalam tradisi Islam Indonesia.
Sejak awal abad ke-15, para habaib dari Hadramaut (Yaman Selatan) datang ke Nusantara membawa ajaran Islam yang damai. Mereka menikah dengan penduduk lokal, melahirkan generasi ulama dan tokoh-tokoh pejuang.
Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus di Luar Batang, misalnya, dikenal sebagai wali yang dihormati. Demikian juga Habib Idrus bin Salim Al-Jufri, pendiri Alkhairaat di Sulawesi Tengah.
Bagi banyak umat Islam di Indonesia, menghormati habaib adalah bentuk penghormatan kepada Rasulullah SAW. Karena itu, ucapan yang menyinggung mereka mudah dianggap melecehkan simbol Nabi sendiri.
Pernyataan Rommi Irawan yang mengaitkan kelompok tertentu dengan “azab” bisa dianggap sebagai bentuk ujaran kebencian berbasis agama atau keturunan, jika terbukti disampaikan di ruang publik tanpa konteks akademik atau tafsir agama yang sahih.
Pasal 156 KUHP melarang perbuatan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap golongan penduduk. Sementara Pasal 28 ayat (2) UU ITE menjerat pelaku yang menyebarkan informasi yang menimbulkan kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA.
Beberapa tokoh habaib di Jakarta dan Surabaya menanggapi dengan keprihatinan. Mereka mengajak masyarakat agar tidak terpancing emosi, namun meminta aparat dan lembaga keagamaan menegur keras pernyataan yang bisa menimbulkan fitnah.
Habib Hasan bin Jindan menilai bahwa ucapan semacam itu berpotensi merusak ukhuwah Islamiyah dan menimbulkan kebencian horizontal.
“Kalau ada orang mengaku habib padahal bukan, itu urusan nasab dan kejujuran. Tapi menuduh keberadaan habaib mengundang azab, itu menyalahi adab terhadap dzurriyah Nabi,” ujar Habib Hasan.
Pernyataan Rommi Irawan menambah daftar panjang kontroversi politikus yang memantik perdebatan agama di ruang publik. Di satu sisi, ia berbicara dalam kerangka kebebasan berpendapat. Namun di sisi lain, ucapan yang menyentuh ranah teologis dan identitas keagamaan menuntut kehati-hatian luar biasa.
Dalam masyarakat yang plural seperti Indonesia, kebebasan berbicara harus berjalan beriring dengan tanggung jawab moral, terutama ketika menyangkut kemuliaan Nabi Muhammad SAW dan keturunannya.
Jika tidak, maka yang mengundang azab bukanlah keberadaan habaib — melainkan keangkuhan manusia yang menistakan kehormatan dengan lidahnya sendiri.