Langit Desa Wukir, Kecamatan Glagah, tampak kelabu pada Rabu pagi (8/10/2025). Embusan angin membawa aroma tanah basah di antara isak tangis keluarga dan para pelayat yang mengiringi kepergian Ghifari Haikal Nur (17), santri Pondok Pesantren Al Khoziny Sidoarjo yang menjadi korban ambruknya bangunan ponpes beberapa hari lalu.
Haikal, begitu ia disapa, adalah santri kelas tiga Madrasah Aliyah yang dikenal tekun, pendiam, dan penuh hormat kepada guru. Hari itu, jenazahnya disalatkan di masjid kecil di tengah desa sebelum dimakamkan di pemakaman keluarga, di samping pusara ayahnya yang telah berpulang empat tahun silam. Suasana hening seolah menelan setiap helaan napas orang-orang yang hadir.
“Dia anak yang rajin dan tidak banyak bicara. Terakhir pulang waktu liburan bulan Agustus, sempat bantu saya di rumah,” ucap Sundari, sang ibu, dengan mata sembab. Di ruang tamu sederhana itu, foto Haikal berseragam putih abu-abu terpajang di dinding, kini dikelilingi bunga melati dan doa.
Haikal menempuh pendidikan di Ponpes Al Khoziny selama tiga tahun terakhir. Ia bercita-cita menjadi ulama dan ingin melanjutkan kuliah di pesantrennya setelah lulus nanti. “Dia sering bilang, ingin jadi guru agama seperti ustaznya,” kata Sundari lirih.
Proses pemulangan jenazah Haikal tidak berlangsung mudah. Setelah ambruknya bangunan ponpes, tim DVI Polri melakukan identifikasi terhadap korban. Hasil tes DNA yang keluar pada Selasa malam (7/10/2025) memastikan kecocokan dengan sampel sang ibu. Karena keluarga belum siap menerima pada malam hari, jenazah baru dijemput Rabu pagi.
Begitu peti jenazah tiba di halaman rumah, suasana duka langsung pecah. Tetangga, sahabat, dan rekan sesama santri tak kuasa menahan tangis. Seorang teman sekelasnya, Ahmad Fauzi, menuturkan bahwa Haikal dikenal sebagai sosok yang selalu menjadi penenang bagi teman-temannya.
“Kalau ada yang ribut, dia yang menengahi. Dia sering ngajarin kami mengaji sampai malam,” katanya dengan suara bergetar.
Kini, cita-cita Haikal untuk menjadi ulama terhenti di usia muda. Namun, semangat dan ketekunannya akan terus dikenang di hati keluarga serta para sahabatnya di pesantren.
Peristiwa ambruknya bangunan ponpes yang menewaskan beberapa santri termasuk Haikal menjadi pelajaran pahit bagi dunia pendidikan keagamaan. Pemerintah daerah bersama Kementerian Agama telah menyatakan akan melakukan evaluasi total terhadap kondisi bangunan pondok-pondok pesantren di seluruh wilayah.
Di atas makamnya yang masih basah, doa terus mengalir. Nama Haikal disebut dengan lirih, diiringi harapan agar arwahnya diterima di sisi Allah SWT. Di antara tangis dan takbir, ibunya berbisik pelan sambil memandangi tanah merah yang mulai menutup peti:
“Haikal, ibu ikhlas… semoga cita-citamu menjadi ulama diteruskan oleh adik-adikmu.”
Langit Wukir masih mendung siang itu — seolah turut berduka, melepas seorang santri yang pulang dalam keheningan, dengan amal dan doa yang tak akan pernah padam. Pewarta Hadi Hoy