Dari SBY Hingga G30S, Hendrajit Ungkap Pola Operasi Kekuasaan di Masa Krisis Nasional

Pengamat geopolitik Hendrajit mengungkapkan pandangan menarik terkait tragedi Gerakan 30 September (G30S) 1965 dan kaitannya dengan dinamika kekuasaan di era kejatuhan Soeharto. Menurutnya, terdapat benang merah antara operasi intelijen berlapis yang terjadi pada 1965 dan pola krisis yang muncul kembali pada masa transisi 1998.

“Di seputaran akhir September dan awal Oktober ini, saya membaca ulang autobiografi pakar militer Salim Said serta kesaksian Kolonel Abdul Latief, salah satu pelaku peristiwa G30S 1965,” ujar Hendrajit, Senin (6/10/2025).

Ia menilai, dari dua kisah tersebut dapat ditemukan pola operasi kekuasaan yang sarat intrik dan tumpang tindih antarlevel komando. Dalam versi Salim Said, kata Hendrajit, tergambar bahwa menjelang dan sesudah kejatuhan Soeharto pada Mei 1998, tokoh yang paling mengenali medan krisis justru adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

“SBY-lah yang memberi ruh kepada Wiranto sebagai Panglima ABRI dalam mempengaruhi pola pikir, pola sikap, dan pola tindak Wiranto pada masa-masa kritis jelang dan pasca lengsernya Soeharto,” jelasnya.

Baca juga:  Tour De Java, Perlawanan SBY Terhadap Jokowi

Sementara itu, kesaksian Kolonel Abdul Latief dalam peristiwa 1965 menurut Hendrajit menunjukkan karakteristik operasi yang berbeda. Latief mengaku sudah memberi tahu Soeharto mengenai adanya operasi pembersihan terhadap sejumlah jenderal yang diduga hendak melakukan makar. Namun, Soeharto tidak mengambil langkah apa pun.

“Yang penting dari kesaksian Latief bukan soal Soeharto sudah tahu atau tidak, tetapi adanya indikasi kuat bahwa operasi G30S memiliki lapisan ganda — bahkan tiga lapis,” terang Hendrajit.

Menurutnya, Letkol Untung dan Kolonel Latief hanyalah “mata rantai terlemah” dalam operasi berlapis tersebut. Ketika operasi itu gagal, mereka dijadikan pihak yang paling disalahkan. “Latief sendiri mengatakan, operasi itu bukan untuk membunuh para jenderal, tetapi untuk menetralisir. Artinya, di level eksekusi lapangan terjadi dua skema yang saling bertabrakan,” tambahnya.

Hendrajit menegaskan, kekacauan rantai komando dalam peristiwa G30S bukanlah akibat perencanaan yang buruk, melainkan justru bagian dari pola operasi yang disengaja.

Baca juga:  Asal Damai, Polri Nilai Demo di Rumah SBY tak Masalah

Untuk memperkuat analisisnya, ia mengutip riset sejarawan John Roosa yang berhasil mengakses arsip CIA yang dibuka pada 1995. Dalam arsip tersebut, terdapat catatan penting mengenai pertemuan internal pimpinan Angkatan Darat pada Januari 1965 yang membahas rencana operasi untuk “mengendalikan Sukarno tanpa terkesan melakukan kudeta.”

“Menariknya, Duta Besar AS untuk Indonesia saat itu, Howard Jones, menilai informasi tersebut akurat karena sumbernya berasal dari orang dalam yang ikut rapat. Jadi bisa jadi baik Dubes Jones maupun Bung Karno sama-sama mendapat informasi yang sama dari sumber tersebut,” paparnya.

Dari fakta itu, Hendrajit mempertanyakan ulang narasi resmi Orde Baru yang menyebut G30S sebagai pelaksanaan perintah 4 Agustus 1965. “Pertanyaannya, apakah G30S itu respon terhadap perintah 4 Agustus, atau justru sebuah operasi kontra intelijen yang kemudian menjelma menjadi tragedi nasional?” pungkas Hendrajit.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News