Makan Bergizi Gratis atau Makan Beracun Gratis?

Oleh: M Yunus Hanis Syam, pengamat politik dan sosial

Ketika Presiden Prabowo meluncurkan program Makan Bergizi Gratis (MBG), banyak yang mengira inilah langkah emas untuk menyehatkan generasi muda bangsa. Visi besarnya mulia: memastikan setiap anak sekolah dari Sabang sampai Merauke tidak belajar dengan perut kosong. Namun, tak lama berselang, kabar demi kabar keracunan makanan di beberapa daerah pun mencuat. Dari ruang kelas yang semestinya riang, kini terdengar keluhan perut melilit, dan ruang UKS seolah berganti fungsi menjadi instalasi gawat darurat mini.

Di warung-warung kopi dan grup WhatsApp warga, julukan sinis pun lahir: Makan Beracun Gratis. Sebuah plesetan yang terdengar seperti kelakar, tetapi getirnya nyata. Beberapa menu MBG yang seharusnya penuh gizi ternyata miskin nutrisi—lauk hanya sejumput, nasi menumpuk seperti bukit kapur, buah sesekali mampir sebagai tamu tak diundang. Bagi sebagian anak, MBG lebih mirip program diet nasional ketimbang penggerak kesehatan.

Di balik piring yang tak sedap dipandang itu, warganet mencium aroma lain: aroma politik. Bukan bawang goreng atau sambal terasi, melainkan aroma konflik kepentingan. Di berbagai daerah, pengelolaan MBG kerap dipegang politisi lokal—dari caleg gagal hingga anggota dewan yang sedang mengatur napas menjelang pemilu berikutnya.

Baca juga:  Dapur MBG Persis Garut, Dari Santri untuk Santri

Tak sulit membayangkan dapur anggaran MBG yang menggoda. Setiap piring yang disajikan berarti anggaran yang bergerak. Maka tak heran bila sejumlah politisi tergiur: siapa tahu, dari sepiring nasi program pusat bisa lahir dukungan politik yang mengenyangkan. Kontrak katering menjadi rebutan, aroma tender lebih harum dari masakan itu sendiri.

Bayangkan, program yang diniatkan untuk menguatkan gizi bangsa justru menjadi hidangan istimewa bagi para pemain anggaran. Rakyat mendapat lauk tempe seiris, tapi politisi bisa menyantap daging proyek setebal dompet.

Sejumlah sekolah melaporkan makanan basi, sayur yang masih berbau pagi kemarin, dan daging yang hanya muncul seperti bintang tamu di sinetron: sebentar lalu hilang. Anak-anak belajar mengenal ilmu kimia lewat rasa asam tak wajar pada nasi bungkus mereka. Guru-guru terpaksa menjadi detektif dadakan, mencari siapa yang bertanggung jawab atas misteri perut mules massal.

Orang tua murid pun terbelah. Ada yang pasrah, ada yang marah. “Katanya bergizi, kok anak saya malah keracunan?” tanya seorang ibu di media sosial. Jawaban resmi pemerintah? Investigasi sedang berjalan. Seperti biasa, investigasi berjalan pelan, jauh lebih pelan dari laju bakteri dalam kotak nasi yang terpapar matahari siang.

Baca juga:  Ketua LP KPK Lamongan: Program Makan Bergizi Gratis Harus Sesuai Standar BGN, Jangan Jadi Ajang Bisnis

Program MBG seharusnya menjadi simbol bahwa negara hadir menyehatkan warganya. Namun, fakta di lapangan memaksa kita menelan pil pahit: gizi tak bertambah, satire malah meluap.

Mungkin sudah saatnya kita menuntut resep baru. Bukan hanya resep dapur, tapi resep tata kelola: distribusi yang diawasi ketat, katering yang profesional, dan politisi yang sadar diri bahwa dapur kekuasaan bukan tempat memasak ambisi pribadi.

Karena bila tidak, Makan Bergizi Gratis akan terus dipelesetkan menjadi Makan Beracun Gratis, dan anak-anak kita bukan hanya kehilangan gizi, tetapi juga kehilangan kepercayaan pada janji negara.

Sampai hari itu tiba, kita hanya bisa berharap piring anak-anak kita diisi lebih banyak sayur segar dan lebih sedikit bumbu politik.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News