Kasus Korupsi PJU Lamongan Menggelegar Lagi! Terpidana Tuding “Otak Besar” Inisial HA, Diduga Legislator Jatim

Api skandal korupsi hibah lampu penerangan jalan umum (PJU) tenaga surya yang sempat meredup kini berpotensi menyala lagi. Jonathan Dunan—terpidana 12 tahun penjara dan denda pengganti Rp30 miliar—secara resmi mengajukan permohonan penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 kepada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim. Langkah ini dinilai bisa membuka kembali tabir kasus korupsi PJU tahun anggaran 2020 senilai Rp75,3 miliar yang sebelumnya menjerat empat orang.

Permohonan yang diajukan Senin (15/9/2025) tersebut menekankan bahwa Jonathan telah berstatus justice collaborator sejak persidangan. Melalui kuasa hukumnya, Fadel Muhammad Habibie dari RF Law Firm, Jonathan menegaskan masih ada pihak yang “diuntungkan” namun lolos jerat hukum.

“Dalam PP 24 Tahun 2025, Presiden Prabowo memberikan ruang bagi terpidana untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum membuka perkara yang belum tuntas,” kata Fadel di Surabaya, Kamis (18/9/2025). “Kami menilai kasus ini jauh dari kata selesai.”

Fadel membeberkan alasan kliennya tidak mengadu ke Kejari Lamongan. “Kami menilai Kejari Lamongan belum mampu menuntaskan perkara ini, sehingga kami melapor ke instansi yang lebih tinggi,” tegasnya.

Baca juga:  Akademisi Lamongan Ati’ul Impartina Raih Doktor dengan Inovasi Instrumen Kesiapan Sekolah Anak

Kasus korupsi PJU sendiri mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp40,9 miliar. Dari nilai proyek Rp75,3 miliar, dana disalurkan ke 247 kelompok masyarakat (Pokmas). Selain Jonathan, tiga terpidana lain dari Pokmas—Supartin, David Rosyidi, dan Fitri Yadi—masing-masing divonis 5,5 tahun penjara.

Jonathan mengaku hanya pelaksana pekerjaan. “Kemungkinan pelaksana menjadi pelaku utama sangat kecil,” jelas Fadel. “Ada pihak lain yang mengondisikan pencairan hibah sejak awal dan turut menikmati hasil korupsi.”

Tanpa ragu, Fadel menuding sosok berinisial HA, yang disebutnya kini menjabat sebagai legislator DPRD Jatim. “Kami sangat percaya otak dari perbuatan melawan hukum ini adalah HA,” tandasnya.

Fadel memaparkan adanya surat berita acara klarifikasi dari Inspektorat Jatim. Dalam dokumen itu, Jonathan dan HA sama-sama menyanggupi pengembalian masing-masing Rp10 miliar, diangsur minimal Rp500 juta per bulan, sebagai pengembalian kelebihan pembayaran Rp40,9 miliar.

“Logika sederhana, mengapa HA menandatangani kesanggupan pengembalian bila tidak terlibat?” tanya Fadel retoris. Namun, kesepakatan itu tak pernah terealisasi sehingga proses hukum tetap berlanjut.

Baca juga:  Kadis Ketahanan Pangan dan Pertanian Lamongan: Lamongan Penyumbang Gabah Terbesar di Jatim

Menurut Fadel, PP 24/2025 menjadi payung hukum bagi terpidana yang mau bekerja sama, bahkan memungkinkan reward berupa pembebasan bersyarat. “Ini penting untuk klien kami. Terpidana pun memiliki ruang menuntut haknya ketika putusan dianggap tidak adil,” ujarnya.

Permohonan Jonathan menjadi sinyal kuat bahwa kasus korupsi PJU Lamongan belum berakhir. Jika Kejati Jatim mengabulkan permohonan PP 24/2025, bukan mustahil penyidikan akan merambah ke nama-nama baru, termasuk HA yang kini jadi sorotan.

Publik menunggu langkah Kejati Jatim. Apakah “bom waktu” korupsi PJU senilai puluhan miliar ini benar-benar akan meledak lagi dan menyeret pejabat yang selama ini lolos jerat hukum?

Kasus ini menjadi ujian serius bagi komitmen pemerintahan Prabowo dalam menegakkan prinsip follow the money—menelusuri aliran dana hingga ke pihak paling berperan, bukan hanya pelaksana lapangan.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News