Jejak Ironi di Balik Penunjukan Djamari Chaniago

Oleh: Rokhmat Widodo, pengamat politik

Sejarah politik Indonesia selalu menyisakan ruang bagi ironi. Di negeri ini, seorang yang dahulu pernah menjadi bagian dari keputusan pahit terhadap seorang jenderal, kini justru diundang masuk kembali ke dalam lingkaran kekuasaan jenderal itu sendiri. Itulah yang terjadi pada penunjukan Letjen (Purn) Djamari Chaniago sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Di atas kertas, langkah ini sekadar rotasi politik, tetapi bila dikupas lebih dalam, ia adalah drama simbolik yang sarat dengan pertarungan makna: rekonsiliasi atau kalkulasi, kebesaran jiwa atau sekadar strategi menjaga legitimasi.

Djamari Chaniago bukan sosok sembarangan. Ia adalah produk generasi TNI yang ditempa dalam dinamika rezim Orde Baru, menduduki jabatan-jabatan penting, hingga puncaknya sebagai Kepala Staf Umum TNI. Ia mengerti betul logika militer, menguasai peta politik keamanan, dan punya reputasi keras sebagai perwira yang disiplin.

Namun publik tak mungkin melupakan satu fakta sejarah: pada 1998, saat krisis melanda negeri dan rezim Orde Baru runtuh, ia duduk sebagai anggota Dewan Kehormatan Perwira yang memutuskan pemecatan Prabowo Subianto dari dinas militer terkait kasus penculikan aktivis pro-demokrasi. Bagi sebagian orang, keputusan itu adalah titik akhir dari karier militer Prabowo, meski kemudian ia berbelok ke jalur politik hingga akhirnya menjadi presiden.

Dua puluh tujuh tahun berlalu, jalan sejarah membawa keduanya bertemu lagi. Bedanya, kali ini bukan dalam ruang pengadilan kehormatan, melainkan dalam kabinet pemerintahan. Djamari dipanggil untuk mengisi pos Menko Polkam, posisi yang sangat strategis karena mengoordinasikan kementerian dan lembaga di bidang politik, hukum, dan keamanan. Ironi ini menimbulkan gelombang tafsir.

Ada yang menyebutnya sebagai bukti kebesaran jiwa Prabowo, yang mampu mengubur dendam dan merangkul kembali orang-orang yang dulu berseberangan dengannya. Tetapi ada juga yang melihatnya sebagai langkah politis dingin: sebuah cara untuk menampilkan citra rekonsiliasi, sekaligus mengikat loyalitas seorang jenderal sepuh ke dalam orbit kekuasaan.

Reaksi publik pun terbelah. Sebagian masyarakat menganggap penunjukan ini sebagai langkah positif. “Ini artinya presiden mampu memaafkan masa lalu, demi kepentingan bangsa,” ujar seorang akademisi dalam sebuah diskusi televisi.

Baca juga:  Survei Litbang Kompas: Prabowo Kalahkan Ganjar

Namun di media sosial, nada kritis justru lebih dominan. Banyak yang mempertanyakan efektivitas seorang jenderal tua di era ancaman modern.

“Bagaimana mungkin kita menghadapi ancaman siber, perang informasi, dan infiltrasi digital global dengan figur yang dibesarkan dalam logika perang konvensional?” tulis seorang netizen dengan nada skeptis. Di Twitter, komentar bernuansa sinis pun bermunculan: “Stabilitas memang penting, tapi jangan jadikan nostalgia militer sebagai jawaban atas krisis demokrasi.”

Dari partai politik, suara juga tidak tunggal. Partai-partai koalisi pemerintah tentu menyambut positif. Mereka menegaskan bahwa pengalaman panjang Djamari akan membantu memperkuat koordinasi keamanan negara. Tetapi dari kubu oposisi, kritik mengemuka. Seorang politisi oposisi menyebut penunjukan ini sebagai langkah mundur. “Ini menunjukkan pemerintah tidak serius menyiapkan regenerasi kepemimpinan di sektor keamanan. Yang diangkat justru wajah lama, padahal tantangan yang kita hadapi adalah tantangan baru,” katanya.

Kritik itu menemukan gaung di kalangan generasi muda, yang sejak lama gelisah dengan kecenderungan politik Indonesia yang kembali condong ke figur-figur militer senior.

Pengamat politik pun tak tinggal diam. Seorang analis dari LIPI menilai, penunjukan Djamari adalah strategi simbolik untuk meredam potensi kritik terhadap presiden. “Dengan mengangkat orang yang dulu menjadi bagian dari DKP, Prabowo ingin menutup luka sejarah. Ia ingin mengatakan: lihat, bahkan orang yang pernah menghukumi saya kini saya angkat menjadi pembantu saya. Ini pesan bahwa semua konflik lama sudah selesai.”

Namun, sang pengamat menambahkan, simbol tidak selalu sama dengan substansi. “Kita harus waspada, karena stabilitas yang dijanjikan bisa jadi hanyalah stabilitas semu, sementara demokrasi tetap terpinggirkan.”

Analisis lain datang dari kalangan akademisi hukum. Mereka menyoroti sisi transparansi. Penunjukan Djamari berlangsung tertutup, bahkan ia sendiri mengaku baru tahu sehari sebelumnya.

Jika ditarik ke level yang lebih dalam, penunjukan Djamari menguak dilema besar yang sedang dihadapi bangsa ini: kebutuhan akan stabilitas di satu sisi, dan tuntutan demokrasi di sisi lain. Pemerintah ingin menampilkan wajah ketegasan, menghadirkan figur militer senior untuk menenangkan keresahan sosial. Tetapi sejarah sudah berkali-kali mengajarkan bahwa stabilitas yang ditegakkan melalui pendekatan militer sering kali rapuh. Ia bisa menciptakan ketenangan semu, namun di bawah permukaannya menyimpan bara ketidakpuasan yang sewaktu-waktu bisa meledak.

Baca juga:  Kasus Fufufafa, Gibran akan Dimasukkan 'Kotak' Oleh Prabowo setelah Pelantikan 20 Oktober 2024

Di masa Orde Baru, jargon stabilitas menjadi mantra. Namun stabilitas itu ditegakkan dengan represi, pembungkaman, dan pelanggaran hak asasi manusia. Hari ini, masyarakat khawatir bahwa pola lama itu sedang berusaha kembali. Ketika protes sosial kerap dihadapi dengan kekerasan, ketika suara kritis dianggap ancaman, dan ketika figur militer kembali mendominasi posisi strategis, kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Penunjukan Djamari bisa dibaca sebagai bagian dari arus balik itu: sebuah upaya menghidupkan kembali logika militeristik di tengah demokrasi yang masih rapuh.

Namun tentu, sejarah juga bisa berbelok. Tak ada yang tahu pasti apakah Djamari akan sekadar menjadi boneka simbolik atau justru mencoba membuktikan dirinya dengan mencatat legacy baru. Ia punya kesempatan untuk menunjukkan bahwa seorang jenderal tua pun bisa berpikir maju, mengutamakan demokrasi, dan menjaga hak-hak sipil. Tetapi publik berhak untuk skeptis, karena rekam jejak militer di kursi sipil jarang sekali memberi bukti yang meyakinkan.

Yang jelas, bola kini ada di tangan rakyat. Demokrasi hanya bisa hidup bila rakyat terus bersuara, mengawasi, dan mengkritisi. Penunjukan Djamari Chaniago sebagai Menko Polkam boleh saja dipenuhi ironi, simbol, dan drama politik, tetapi jangan sampai rakyat larut dalam narasi elite. Di balik jargon rekonsiliasi dan stabilitas, ada risiko pengabaian terhadap suara rakyat. Karena itu, tugas utama publik adalah memastikan bahwa stabilitas yang dijanjikan benar-benar berpihak pada rakyat, bukan sekadar mengamankan kekuasaan.

Maka, penunjukan ini bukan sekadar soal siapa duduk di kursi Menko Polkam. Ia adalah cermin dari arah politik Indonesia ke depan. Apakah bangsa ini akan tetap melangkah di jalan demokrasi, ataukah akan tergelincir kembali ke bayang-bayang otoritarianisme yang dulu pernah menjeratnya? Jawaban dari pertanyaan itu tidak hanya ada di tangan Djamari atau Prabowo, melainkan di tangan seluruh rakyat yang berani menjaga nyala kritisisme. Sejarah masih terbuka, dan bangsa ini masih punya kesempatan untuk memastikan bahwa ironi politik tak berubah menjadi tragedi demokrasi.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News