Gelombang desakan publik agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera menetapkan mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas sebagai tersangka dalam dugaan korupsi kuota haji kian menguat. Sorotan tajam datang dari berbagai kalangan, termasuk aktivis Rahman Simatupang, yang menilai penanganan kasus ini menjadi ujian kredibilitas KPK di tengah isu dugaan lobi politik.
Kasus ini berawal dari temuan penyidik KPK mengenai dugaan penyalahgunaan kuota tambahan haji 2024. Berdasarkan ketentuan, porsi kuota seharusnya 92% untuk jamaah reguler dan 8% untuk haji khusus. Namun, indikasi praktik “jual-beli” kuota dan pembagian tak sesuai aturan terendus sejak awal 2024.
Penyidik KPK menduga pola pembagian yang menyimpang tersebut menguntungkan pihak tertentu, termasuk perusahaan penyelenggara haji, dan berpotensi merugikan negara hingga lebih dari Rp1 triliun. Sejumlah pejabat Kementerian Agama dan pihak swasta sudah diperiksa intensif, sementara nama Yaqut terus menjadi sorotan karena posisinya sebagai menteri saat kebijakan itu berjalan.
Sejak awal Agustus 2025, KPK menaikkan kasus ini ke tahap penyidikan. Yaqut sendiri telah beberapa kali dipanggil dan diperiksa sebagai saksi. Penyidik juga melakukan pencegahan ke luar negeri terhadap sejumlah pihak, termasuk Yaqut, sebagai langkah pengamanan proses hukum.
KPK menyatakan telah mengantongi calon tersangka dan berjanji segera mengumumkannya. Namun, hingga pertengahan September, publik masih menanti kepastian. Keterlambatan ini memunculkan spekulasi bahwa ada tarik-menarik kepentingan politik yang menghambat proses.
Aktivis Rahman Simatupang menilai kasus ini menjadi cermin kepercayaan masyarakat terhadap lembaga antirasuah. Dalam pandangannya, KPK harus “berani dan transparan” agar tidak menimbulkan dugaan permainan di balik layar.
Rahman menekankan pentingnya penjelasan terbuka. KPK, menurutnya, seharusnya menguraikan alasan teknis bila penetapan tersangka memerlukan waktu lebih lama. Tanpa keterbukaan, kecurigaan publik terhadap adanya intervensi politik akan semakin kuat.
Menurut Rahman, tertundanya penetapan tersangka bisa ditafsirkan sebagai tanda adanya tekanan atau lobi politik. Ia menegaskan, “KPK harus menunjukkan keberanian untuk membuktikan bahwa penegakan hukum tidak tunduk pada kekuasaan mana pun.”
Meski mendesak percepatan, Rahman mengingatkan bahwa setiap langkah KPK harus didasari bukti kokoh agar tidak mudah digugat di pengadilan. Kecepatan, katanya, tidak boleh mengorbankan kualitas.
Rahman juga menyoroti bahwa kasus ini menyangkut penyelenggaraan ibadah haji yang sarat nilai spiritual. “Proses hukum harus adil dan transparan agar tidak menimbulkan kekecewaan umat,” ujarnya, Rabu (17/9/2025)
Pengusutan kasus haji yang melibatkan mantan menteri agama otomatis membawa konsekuensi politik. Yaqut merupakan figur penting di ormas besar, sehingga langkah KPK akan mempengaruhi citra organisasi dan peta politik nasional.
Rahman menilai, jika KPK terbukti menunda proses karena tekanan politik, kepercayaan publik terhadap lembaga ini akan tergerus. Sebaliknya, penetapan tersangka yang berbasis bukti kuat akan mengukuhkan independensi KPK dan menjadi preseden positif dalam penegakan hukum.
Bagi masyarakat luas, proses ini bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal keadilan dan integritas penyelenggaraan ibadah haji. Rahman menilai KPK perlu segera memberikan kepastian: siapa saja yang bertanggung jawab, bagaimana pola penyimpangan terjadi, dan sejauh mana kerugian negara.
“Publik menunggu bukti nyata bahwa KPK tetap tegak lurus pada kebenaran. Setiap keterlambatan tanpa alasan jelas hanya menambah spekulasi,” tegas Rahman.