Kenapa Harus Adili Jokowi?

Deodatus Sunda Se (Dendy), Direktur Institut Marhaenisme 27

Selama sepuluh tahun memimpin, Jokowi membungkus pemerintahannya dengan narasi besar: ekonomi tumbuh, pembangunan merata, dan jalan tol di mana-mana sebagai simbol kemajuan. Namun, di balik gemerlap itu, pembangunan berjalan tanpa arah kebangsaan—lebih sibuk melayani kepentingan investor, menambah beban utang negara, dan membuat hidup rakyat makin terhimpit. Karena itu, warisan Jokowi tak bisa sekadar dinilai sebagai kegagalan kebijakan. Ia merupakan bentuk penyalahgunaan kuasa, sebuah kesalahan yang menuntut pertanggungjawaban politik, hukum, sekaligus moral.

Ledakan utang negara menjadi potret paling jelas arah pembangunan era Jokowi. Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, per Juni 2024 jumlahnya mencapai Rp 8.444,87 triliun atau sekitar 39 persen dari PDB. Angka ini melonjak hampir 224 persen dibanding tahun 2014 ketika ia baru dilantik. Ironisnya, utang besar itu tidak diarahkan untuk memperkuat sektor strategis rakyat—pangan, energi, kesehatan—tetapi justru digelontorkan ke proyek mercusuar seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) dan kereta cepat Jakarta–Bandung, yang sejak awal sarat kepentingan politik dan investor.

Proyek IKN dengan estimasi biaya Rp 466 triliun adalah contoh nyata. Hingga tahap pertama saja sudah habis Rp 151 triliun, mayoritas dari APBN. Namun, pada 2026 Kementerian PUPR justru berencana menarik diri karena anggaran yang tersedia jauh dari kebutuhan.

Alih-alih jadi solusi ketimpangan pembangunan, IKN justru menjadi simbol pemborosan, buruknya perencanaan, dan utang yang akan diwariskan kepada rakyat. Pola serupa terlihat pada kereta cepat Jakarta–Bandung: dari estimasi awal Rp 66,7 triliun, biaya membengkak menjadi Rp 114,24 triliun, dan lagi-lagi APBN harus menutupinya.

Baca juga:  10 Pendemo dari Kalangan Miskin Tuntut Janji Jokowi, Malah Diseret 100 Anggota Polisi

Di ranah regulasi, Omnibus Law Cipta Kerja menjadi warisan paling bermasalah. Alih-alih melindungi buruh dan rakyat kecil, UU ini justru memberi karpet merah bagi investor, melemahkan posisi pekerja, mempermudah izin lingkungan, dan meresmikan praktik upah murah. Proses pengesahannya pun cacat prosedur hingga dinyatakan inkonstitusional. Tak hanya itu, Omnibus Law juga menjadi payung hukum bagi Proyek Strategis Nasional (PSN) yang justru memicu ratusan konflik agraria.

Di sisi lain, dekade kepemimpinan Jokowi juga diwarnai oleh maraknya kasus korupsi menteri. Dari Edhy Prabowo (ekspor benur), Juliari Batubara (korupsi bansos COVID-19), Johnny G. Plate (skandal BTS 4G), hingga Nadiem Makarim (korupsi pengadaan Chromebook). Rangkaian kasus ini menunjukkan betapa lemahnya komitmen pemerintahan Jokowi dalam pemberantasan korupsi, bahkan menjadikan periode ini sebagai salah satu yang terbanyak menteri terseret korupsi pasca-reformasi.

Fenomena tersebut tak lepas dari cengkeraman oligarki yang menjadi fondasi kekuasaan Jokowi. Kabinet dibentuk bukan berdasarkan kapasitas, melainkan kompromi politik, kepentingan pemilik modal, bahkan demi memperkuat dinasti. Proyek-proyek strategis hanyalah instrumen untuk menumpuk modal segelintir orang, sementara rakyat menanggung utang, kehilangan tanah, hingga mengalami kerusakan sosial-ekologis.

Di bidang demokrasi, jejak Jokowi juga meninggalkan luka mendalam. Ruang kebebasan sipil dipersempit, aktivis dikriminalisasi, media dikooptasi, lembaga hukum dipelintir untuk menjaga kekuasaan.

Baca juga:  Jokowi Isyaratkan Tinggalkan Ahok dan Pendukungnya

Puncaknya, putra Jokowi, Gibran Rakabuming, bisa melenggang menjadi calon wakil presiden berkat putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi yang saat itu dipimpin oleh iparnya sendiri. Peristiwa ini menelanjangi bagaimana institusi negara digunakan untuk melanggengkan kekuasaan keluarga.

Kondisi ini mengingatkan pada pola Orde Baru di bawah Soeharto: kekuasaan dijaga dengan represi, hukum dipelintir, dan rakyat yang menanggung akibat. Bedanya, setelah 32 tahun berkuasa, Soeharto lengser tanpa pernah benar-benar diadili. Luka sejarah itu dibiarkan terbuka, menciptakan preseden impunitas yang kini berulang.

Bahaya terbesar dari membiarkan Jokowi lolos tanpa diadili bukan hanya pada utang yang menumpuk atau proyek gagal yang membebani rakyat. Lebih dari itu, akan lahir pesan berbahaya bagi generasi berikutnya: kekuasaan boleh disalahgunakan, hukum bisa dipelintir, rakyat bisa ditekan—asal kursi kekuasaan tetap aman.

Karena itu, mengadili Jokowi bukanlah soal dendam atau sekadar amarah. Ini adalah keberanian untuk menegakkan preseden bahwa seorang presiden pun tidak boleh kebal hukum. Kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat, dan siapa pun yang menyalahgunakan amanah rakyat harus bertanggung jawab.

Jika kita gagal menuntut pertanggungjawaban, sejarah hanya akan berulang. Tapi jika Jokowi berani kita adili, pesan yang lahir sederhana namun kuat: kekuasaan adalah amanah rakyat, bukan hak istimewa.

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News