Polemik mengenai tunjangan rumah Rp50 juta per bulan bagi anggota DPR akhirnya mendapat penjelasan langsung dari Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad. Dasco menegaskan, tunjangan tersebut bukan fasilitas permanen yang akan diterima lima tahun penuh, melainkan hanya berlaku selama 12 bulan, yakni dari Oktober 2024 hingga Oktober 2025.
“Setelah Oktober 2025, anggota DPR itu tidak akan mendapatkan tunjangan kontrak rumah lagi,” tegas Dasco dalam keterangannya, Selasa (26/8/2025).
Menurut Dasco, skema tunjangan rumah muncul karena sejak periode 2024–2029, anggota DPR tidak lagi mendapat fasilitas rumah dinas di Kalibata. Untuk menggantinya, pemerintah menyiapkan skema kontrak rumah lima tahun senilai sekitar Rp600 juta. Namun karena anggaran penuh belum tersedia sejak awal, pembayarannya dilakukan dengan cara diangsur Rp50 juta per bulan selama setahun. Setelah itu, tunjangan bulanan dihentikan.
“Kalau dicek di slip penerimaan bulan November 2025, komponen Rp50 juta itu sudah tidak ada lagi,” ujar Dasco menekankan.
Pernyataan tegas Dasco mendapat respons positif dari Perhimpunan Pergerakan Jejak Nasional 98 (PPJNA 98). Ketua Umum PPJNA 98, Anto Kusumayuda, menilai klarifikasi tersebut menunjukkan sikap keberpihakan kepada rakyat.
“Di tengah kritik publik soal anggaran negara, pernyataan Pak Dasco justru menegaskan bahwa DPR tidak mengambil keuntungan berlebih. Ini bentuk keberpihakan nyata kepada rakyat,” kata Anto.
Menurut PPJNA 98, transparansi dalam menyampaikan skema tunjangan rumah sangat penting untuk mencegah kesalahpahaman publik. Sebab sebelumnya, ramai isu bahwa DPR akan menerima Rp50 juta setiap bulan selama lima tahun penuh, yang jika dikalkulasi nilainya sangat besar.
Ramainya isu tunjangan rumah Rp50 juta dianggap berpotensi menurunkan kepercayaan publik kepada DPR. Namun, dengan adanya penjelasan resmi dari pimpinan DPR, narasi yang berkembang mulai diluruskan.
Dasco menegaskan bahwa kebijakan ini tidak membebani anggaran negara secara terus-menerus, karena hanya berlaku satu tahun. Setelah itu, anggota dewan tetap menempati rumah kontrakan hasil pembayaran di awal.
Meski demikian, sejumlah kalangan sipil tetap mendorong DPR untuk membuka lebih rinci mekanisme tunjangan ini, mulai dari kisaran harga sewa rumah hingga sistem pengawasannya. Hal ini dianggap penting agar tidak muncul persepsi negatif baru di tengah masyarakat.
Dengan klarifikasi ini, DPR berharap kepercayaan publik tidak semakin tergerus. Sementara itu, PPJNA 98 menegaskan akan terus mengawal isu-isu kebijakan parlemen agar selalu berpihak pada kepentingan rakyat.





