Pancasila di Persimpangan Jalan

Oleh: Rokhmat Widodo, pemerhati politik

Pancasila adalah fondasi yang digagas para pendiri bangsa sebagai titik temu dari beragam perbedaan yang ada di Nusantara. Ia bukan sekadar susunan kata yang indah, melainkan suatu falsafah hidup bersama, ideologi pemersatu, dan dasar negara yang seharusnya menjadi pedoman setiap langkah bangsa Indonesia. Pada tahun 1945, melalui perdebatan panjang dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI, lima sila yang kemudian dikenal sebagai Pancasila diputuskan sebagai dasar negara. Dari awal, Pancasila bukan hanya disusun untuk memenuhi kebutuhan politik praktis, tetapi benar-benar diproyeksikan sebagai nilai bersama yang akan membimbing bangsa ini dalam jangka panjang. Namun, semakin ke sini, yang terlihat adalah kenyataan pahit: Pancasila lebih sering diperlakukan sebagai simbol seremonial ketimbang panduan nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Realisasi Pancasila di tengah masyarakat kian hari kian memudar, sehingga banyak pihak meragukan apakah ia masih benar-benar hidup dalam keseharian bangsa ini.

Ketika kita menengok sila pertama yang berbicara tentang Ketuhanan Yang Maha Esa, secara teoritis bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religius. Berbagai rumah ibadah berdiri di mana-mana, perayaan hari-hari besar agama dilaksanakan dengan meriah, bahkan kebijakan pemerintah pun kerap menekankan aspek religiusitas. Namun, apakah benar bangsa ini sudah menghayati makna sejati dari Ketuhanan? Jika melihat realitas, masih banyak peristiwa intoleransi, diskriminasi terhadap kelompok minoritas, bahkan kekerasan yang dilakukan atas nama agama. Sila pertama yang seharusnya menghadirkan semangat kasih sayang dan penghormatan antarumat justru seringkali berhenti pada ritual formal. Banyak orang mengaku beriman, tetapi tidak jarang imannya digunakan sebagai alat untuk membeda-bedakan dan menyingkirkan pihak lain. Dengan demikian, realisasi sila pertama semakin samar, seolah ada hanya dalam teks, bukan dalam perilaku sosial sehari-hari.

Sila kedua yang berbicara tentang kemanusiaan yang adil dan beradab pun tidak kalah problematis. Secara normatif, bangsa ini seharusnya menempatkan manusia sebagai makhluk yang bermartabat dan memperjuangkan keadilan. Namun, kenyataan menunjukkan banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia yang tidak pernah tuntas diselesaikan, dari masa lalu hingga hari ini. Buruh sering diperlakukan tidak adil, korban kekerasan masih sulit memperoleh keadilan, dan masih banyak kelompok yang hidup dalam kondisi marginal. Bahkan pelayanan publik yang seharusnya meringankan justru sering membebani. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan misalnya, kerap menjadi polemik karena dirasakan memberatkan masyarakat kecil. Padahal akses kesehatan adalah hak dasar, namun di lapangan masih banyak rakyat yang mengeluh sulit mendapatkan layanan yang layak. Kemanusiaan yang adil dan beradab dalam praktik seperti ini tampak hanya menjadi cita-cita, sementara realitas berbicara sebaliknya.

Baca juga:  Politisi Senior PPP Sebut Pancasila Bisa Terima Khilafah

Sila ketiga yang menekankan pentingnya persatuan Indonesia kini menghadapi tantangan yang sangat serius. Dalam praktik kehidupan berbangsa, persatuan yang seharusnya menjadi kekuatan justru sering terkoyak oleh kepentingan politik dan identitas. Polarisasi semakin tajam, terutama dalam setiap momentum pemilu. Media sosial menjadi ruang yang mempercepat dan memperluas perpecahan. Hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah beredar begitu cepat sehingga memperuncing perbedaan. Kesetiaan pada kelompok, partai, atau tokoh tertentu seringkali lebih besar dibandingkan kesetiaan pada bangsa dan negara. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang seharusnya hidup sebagai semangat persatuan kini hanya menjadi tulisan di lambang negara yang jarang benar-benar dirasakan. Persatuan Indonesia semakin pudar, dan hal ini menunjukkan betapa jauh pergeseran yang terjadi antara cita-cita dan kenyataan.

Sila keempat yang berbicara tentang kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan juga mengalami erosi makna. Demokrasi yang seharusnya dijalankan dengan musyawarah yang bijak kini lebih banyak dipraktikkan sebagai ritual elektoral lima tahunan. Pemilu memang dilaksanakan secara rutin, tetapi esensi musyawarah dan kebijaksanaan semakin jarang ditemui. Politik uang masih merajalela, oligarki semakin kuat, dan representasi rakyat di lembaga perwakilan seringkali jauh dari harapan. Aspirasi rakyat kecil kerap diabaikan, sementara kepentingan elite politik menjadi prioritas utama. Banyak pejabat justru sibuk memperkaya diri sendiri melalui praktik korupsi yang tidak kunjung berakhir. Berulang kali aparat penegak hukum menangkap pejabat karena korupsi, tetapi kasus serupa terus terulang, seolah-olah jabatan publik memang lebih dilihat sebagai jalan memperkaya diri daripada mengabdi kepada rakyat. Musyawarah dan kebijaksanaan dalam sila keempat tampak semakin ditinggalkan, tergantikan oleh pragmatisme dan kerakusan.

Sila kelima yang menegaskan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah puncak dari seluruh sila, sekaligus cita-cita besar bangsa ini. Namun, justru sila ini yang paling sulit diwujudkan. Jurang antara kaya dan miskin semakin melebar. Pembangunan memang terjadi, tetapi tidak merata. Di satu sisi, kota-kota besar terus berkembang dengan infrastruktur megah, sementara di sisi lain masih banyak daerah yang tertinggal. Kasus korupsi yang merugikan negara semakin memperparah ketidakadilan. Rakyat kecil semakin terhimpit, sementara segelintir elite semakin makmur. Harga pangan pokok pun terus melonjak, membuat rakyat kecil kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kenaikan harga beras, minyak goreng, cabai, dan bahan pokok lain menjadi bukti bahwa keadilan sosial belum benar-benar terwujud. Di pasar, rakyat kecil mengeluh karena penghasilan mereka tidak sebanding dengan harga yang terus naik. Situasi ini semakin menegaskan bahwa keadilan sosial masih jauh dari kenyataan, dan Pancasila hanya terdengar sebagai slogan kosong.

Baca juga:  Pancasila, Hidup atau Mati?

Tidak hanya itu, masalah-masalah daerah juga menambah panjang daftar persoalan yang memperlihatkan pudarnya realisasi Pancasila. Ketimpangan pembangunan antara desa dan kota semakin jelas terlihat. Di kota besar, orang bisa dengan mudah mengakses fasilitas kesehatan, pendidikan, hingga transportasi modern. Sementara di desa-desa pelosok, masih banyak masyarakat yang harus berjalan puluhan kilometer hanya untuk mencari sekolah, listrik yang tidak stabil, dan akses jalan yang rusak. Pemerataan pembangunan yang seharusnya menjadi wujud nyata keadilan sosial masih jauh dari harapan. Ketidakadilan ini membuat banyak masyarakat merasa tidak benar-benar menjadi bagian dari pembangunan bangsa.

Pudarnya realisasi Pancasila bukanlah fenomena yang datang secara tiba-tiba. Ada banyak faktor yang memengaruhi. Globalisasi membawa nilai-nilai baru yang sering bertabrakan dengan nilai luhur bangsa. Individualisme, konsumerisme, dan materialisme semakin mengakar, menggantikan semangat gotong royong yang dahulu menjadi ciri khas masyarakat Indonesia. Politik yang semakin pragmatis menjadikan Pancasila hanya alat legitimasi, bukan pedoman. Para pemimpin seringkali hanya menyebut Pancasila dalam pidato, tetapi tidak mencontohkannya dalam tindakan. Pendidikan Pancasila di sekolah-sekolah pun cenderung formalistik. Siswa diajak menghafal sila-sila, tetapi jarang diajak merenungkan dan mempraktikkannya dalam kehidupan nyata. Akibatnya, Pancasila hanya sebagai simbol, melainkan sebagai kenyataan yang dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News