Nasib PT Kereta Api Indonesia (Persero) kini tengah menjadi sorotan publik. Perusahaan pelat merah itu dinilai tidak hanya menghadapi kebangkrutan keuangan, tetapi juga kebangkrutan moral setelah pengangkatan Bobby Rasyidin sebagai Direktur Utama.
Koordinator Center For Budget Analisis (CBA), Jajang Nurjaman, menilai keputusan Kementerian BUMN maupun Danantara Indonesia dalam menunjuk Bobby Rasyidin sebagai Dirut PT KAI terlalu tergesa-gesa.
“Seharusnya pihak kementerian maupun Danantara ketika mengangkat seorang pejabat melihat rekam jejak dan integritasnya. Jangan sampai yang ditunjuk justru menjadi pasien aparat hukum,” tegas Jajang, Rabu (20/8/2025).
Bobby Rasyidin resmi ditunjuk menggantikan Didiek Hartantyo pada Selasa, 12 Agustus 2025. Namun, hanya dua hari berselang, pada Kamis (14/8/2025), ia dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan kasus korupsi proyek digitalisasi SPBU Pertamina periode 2018–2023.
“Pengangkatan Bobby Rasyidin asal-asalan. Padahal Presiden Prabowo sudah jelas menyatakan ingin memburu koruptor sampai ke Antartika. Tapi yang terjadi malah Dirut BUMN strategis terseret kasus,” kritik Jajang.
Selain persoalan hukum, kondisi keuangan PT KAI juga sedang tertekan. Laporan keuangan mencatat PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI)—anak usaha PT KAI—menderita kerugian Rp4,195 triliun pada 2024 dan kembali rugi Rp1,625 triliun sepanjang semester I 2025.
“Kerugian ini jelas membebani PT KAI sebagai pemegang saham mayoritas di PSBI. Apalagi pembangunan kereta cepat Jakarta–Bandung dipaksakan, membuat perusahaan makin sulit bertahan,” lanjut Jajang.
CBA pun mendesak Presiden Prabowo Subianto segera mencopot Bobby Rasyidin dari jabatan Dirut PT KAI agar perusahaan dapat terselamatkan dari potensi kebangkrutan.
Sebagai informasi, PT KAI memiliki 58,53% saham PSBI. Sisanya dimiliki oleh PT Wijaya Karya (33,36%), PT Jasa Marga (7,08%), dan PT Perkebunan Nusantara I (1,03%). PSBI sendiri menguasai 60% saham PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC), operator kereta cepat Whoosh.