Di balik riuh rendah lalu lintas dan gedung-gedung pencakar langit di kawasan Karet Kuningan, Setiabudi, Jakarta Selatan, ada satu sosok yang setiap hari menaruh hati dan pikirannya untuk menjaga harmoni warganya. Dialah Istambul Afrikana, seorang lurah yang bukan hanya dikenal karena kepemimpinannya, tetapi juga karena kedekatannya dengan masyarakat.
Istambul adalah lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin (Unhas), angkatan 1987. Latar belakang akademisnya di bidang komunikasi bukan hanya menjadi titel di ijazah, tetapi juga mewarnai cara ia berinteraksi dengan warga. Baginya, komunikasi adalah kunci utama dalam membangun kepercayaan.
“Warga tidak butuh pejabat yang jauh. Mereka butuh teman bicara, tempat curhat, dan pendengar yang bisa dipercaya,” ungkap Istambul suatu sore di balai kelurahan.
Di setiap kesempatan, ia selalu membuka ruang dialog dengan warganya—mulai dari pedagang kaki lima, pekerja harian, hingga profesional yang tinggal di apartemen modern. Perbedaan latar belakang sosial tidak pernah menjadi jarak. Justru, ia menjadikannya sebagai kekuatan untuk membangun kebersamaan.
Lurah di Tengah Dinamika Kota
Menjadi Lurah Karet Kuningan bukanlah tugas mudah. Kawasan ini adalah salah satu titik sibuk Jakarta, diapit oleh pusat bisnis dan permukiman padat. Persoalan lingkungan, banjir, sampah, hingga ketimpangan sosial adalah tantangan sehari-hari.
Namun, Istambul memilih untuk tidak hanya bekerja dari balik meja. Ia kerap turun langsung ke lapangan, meninjau got yang tersumbat, ikut serta kerja bakti, bahkan mendatangi rumah warga yang mengalami musibah.
“Kalau hanya duduk di kantor, saya tidak akan pernah tahu apa yang benar-benar dirasakan masyarakat,” ujarnya dengan senyum tenang.
Salah satu yang membuat Istambul dihormati adalah caranya menyapa setiap warga tanpa membeda-bedakan. Ia masih ingat nama-nama ketua RT, tokoh masyarakat, hingga anak-anak muda yang aktif di karang taruna.
Di mata warga, Istambul bukan hanya lurah, tetapi juga seperti kakak dan sahabat. Ia sering mengajak pemuda berdiskusi tentang peluang usaha kecil, mendorong ibu-ibu PKK untuk lebih kreatif, hingga mendampingi para lansia dalam kegiatan posyandu.
Bagi Istambul, keberhasilan seorang lurah bukan diukur dari banyaknya penghargaan, melainkan dari senyum warganya yang merasa terayomi.
Menghadirkan Nilai Kemanusiaan di Tengah Modernitas
Karet Kuningan adalah potret kecil Jakarta—modern sekaligus penuh tantangan sosial. Di tengah kondisi itu, Istambul Afrikana hadir sebagai penghubung, jembatan antara pemerintah dengan masyarakat. Dengan bekal ilmu komunikasi yang ia peroleh sejak kuliah di Unhas, ia membuktikan bahwa pemimpin yang baik bukanlah mereka yang hanya memerintah, melainkan mereka yang bisa mendengarkan.
“Yang saya pegang teguh, lurah itu harus hadir. Hadir saat ada masalah, hadir saat warga butuh, dan hadir saat masyarakat ingin berbagi kebahagiaan,” kata Istambul menutup perbincangan.
Dari sikap sederhana itu, warga Karet Kuningan tahu bahwa mereka memiliki lurah yang tidak hanya bekerja dengan tangan dan otak, tetapi juga dengan hati. Rully Kurniawan