Oleh: Untung Nursetiawan, Pemerhati Sosial Kota Pekalongan
Pernyataan anggota DPR RI Fraksi PKS, Rizal Bawazier, di media sosial tgl 17 Agustus 2025 tentang adanya pengembalian dana tabungan nasabah korban BMT Mitra Umat (MU) Pekalongan sebesar Rp27,5 miliar, justru menjadi blunder politik yang berujung kritik keras. Alih-alih menuai simpati, klaim tersebut malah melahirkan gelombang hujatan dan ketidakpercayaan publik di dapil pemilihannya, khususnya dari para nasabah yang hingga kini masih berjuang menuntut haknya.
Dalam statemennya, Rizal terkesan hendak menunjukkan adanya progres signifikan dalam penyelesaian kasus BMT MU Pekalongan yang sudah bertahun-tahun membelit ribuan nasabah. Namun begitu kabar itu dirilis, publik langsung mempertanyakan validitasnya. Angka Rp27,5 miliar terdengar fantastis, tetapi tidak ada bukti nyata siapa saja penerima, kapan pengembalian dilakukan, dan dengan mekanisme apa uang itu dikembalikan.
Pertanyaan yang paling mengemuka di kalangan korban adalah: dikembalikan kepada siapa? Sebab, hingga kini para nasabah yang konsisten berjuang lewat paguyuban dengan aksi-aksi protesnya tidak pernah menerima sepeser pun dari uang tabungan mereka yang macet di BMT MU Pekalongan.
Paguyuban yang selama ini menjadi motor perlawanan justru menegaskan bahwa klaim Rp27,5 miliar itu bohong belaka. “Kalau memang benar ada pengembalian, gerbong kami tentu sudah ikut merasakan. Selama ini yang berhadapan langsung dengan mereka adalah kami,” demikian suara keras dari kalangan korban.
Kritik ini bukan tanpa alasan. Selama ini, seluruh dinamika perjuangan nasabah korban BMT MU Pekalongan berlangsung terbuka. Setiap langkah hukum, mediasi, hingga aksi unjuk rasa selalu terdokumentasi dan tidak ada kabar mengenai adanya skema pengembalian masif senilai puluhan miliar. Logikanya, jika benar sudah ada dana Rp27,5 miliar yang cair, publik tentu akan dengan mudah menemukan jejaknya: tanggal pencairan, ramainya kantor karena proses pencairan, bukti pencairan, daftar nama penerima, atau testimoni korban dan beritanya tersebar ada dimana mana. Namun yang terjadi justru sebaliknya, hening, sepi dan kosong, tidak ada pergerakan apapun, kok tiba-tiba sudah cair 27,5 M.
Klaim Rizal ini akhirnya dipersepsikan publik sebagai upaya politis untuk meraih simpati. Namun, strategi itu justru berbalik arah. Netizen ramai-ramai menanggapi dengan sinis. Alih-alih memberi apresiasi, mereka menuding statemen tersebut tidak masuk akal, mengada-ada, bahkan menyesatkan. Kalau benar ada Rp27,5 miliar, seharusnya berita gembira itu viral dengan sendirinya karena korban merasa lega. Bukan merilis sendiri, mengklaim sendiri. Faktanya tidak ada satu pun korban yang bersuara menerima pengembalian itu. Jadi klaim itu lebih mirip sandiwara politik.
Blunder ini menegaskan pentingnya transparansi dalam komunikasi politik, terlebih ketika menyangkut nasib ribuan rakyat kecil yang sedang menderita karena kehilangan tabungan. Klaim sepihak tanpa data hanya akan menambah luka. Para korban merasa dipermainkan, bukan hanya oleh BMT MU yang gagal menjaga amanah, tetapi juga oleh wakil rakyat yang seharusnya menjadi penyambung lidah penderitaan mereka.
Blunder Rizal Bawazier ini juga bisa menjadi pelajaran berharga bagi para politisi lain. Di era keterbukaan informasi, publik bukan lagi objek pasif yang mudah digiring opini. Warga semakin kritis, terutama korban yang hidupnya terguncang akibat hilangnya tabungan puluhan tahun. Klaim tanpa bukti akan langsung dipatahkan oleh realitas dan suara kolektif masyarakat.
Pada akhirnya, masalah BMT Mitra Umat bukan hanya soal angka-angka. Ini adalah soal kepercayaan. Nasabah menaruh uang mereka di lembaga keuangan syariah dengan keyakinan amanah akan dijaga. Saat kepercayaan itu hancur, maka pemulihannya membutuhkan transparansi, kejujuran, dan itikad baik, bukan klaim sepihak.
Rizal mungkin bermaksud menunjukkan keberpihakannya. Namun, caranya justru salah. Klaim Rp27,5 miliar tanpa bukti sama sekali hanya memperburuk citra, bukan hanya dirinya, tetapi juga DPR institusi yang diwakilinya dan partainya PKS. Publik semakin tidak percaya, dan nasabah korban BMT MU semakin yakin bahwa perjuangan mereka tidak boleh bergantung pada janji-janji kosong politisi.
Rizal Bawazier harus bisa membuktikan angka 27,5 M tersebut, apalagi dalam rilisnya Rizal menyebut pihak Walikota, DPRD kota dan Dinas Koperasi kota ikut berperan aktif dalam penyelesaian tersebut.
Kasus ini sekaligus menjadi pengingat: jangan sekali-kali meremehkan kecerdasan publik. Dalam dunia politik hari ini, sebuah statemen bisa jadi senjata makan tuan. Dan bagi para korban BMT Mitra Umat, klaim pengembalian Rp27,5 miliar hanyalah satu babak baru dari drama panjang yang semakin menegaskan bahwa keadilan untuk mereka masih jauh dari harapan. Tapi kepada saya para korban menyampaikan justru semakin semangat mengobarkan api perjuangan melawan ketidakadilan yang masif ini.