Pajak di Persimpangan Jalan

Oleh: Rokhmat Widodo, Pengamat politik dan sosial

Awal tahun 2025, udara di Jakarta terasa berbeda. Bukan hanya karena musim hujan yang datang sedikit terlambat, tapi juga karena sebuah gelombang perubahan mulai terasa di dunia perpajakan. Berita tentang empat peraturan pajak terbaru menyebar cepat, dari grup WhatsApp pengusaha, ruang diskusi akuntan, hingga forum daring yang dipenuhi para pelaku UMKM. Tidak ada yang benar-benar bisa mengabaikannya. Pajak bukan lagi sekadar angka di formulir tahunan, melainkan sebuah realitas baru yang menyentuh hampir setiap transaksi yang kita lakukan.

Andi, pemilik usaha percetakan yang sudah 15 tahun beroperasi di bilangan Jakarta Barat, pagi itu membuka email resmi dari Direktorat Jenderal Pajak. Judulnya singkat, tapi cukup membuat keningnya berkerut: “Implementasi PER-11/PJ/2025”. Ia menyesap kopi, lalu mulai membaca. Di situ dijelaskan bahwa kini e-Faktur harus diunggah maksimal tanggal 20 setiap bulan, dan pelaporan SPT Masa akan lebih sederhana. Ada kabar baik—pekerjaan administrasi akan berkurang. Tapi di baris berikutnya, ia membaca kewajiban baru: penyewa mesin atau properti wajib memotong PPh. Andi menghela napas. Ada yang dipermudah, tapi juga ada yang menuntut adaptasi. “Ya, namanya juga aturan,” pikirnya, “tinggal kita yang belajar menyesuaikan.”

Di sisi lain kota, Rina—seorang trader kripto—baru saja membaca tentang PMK 53/2025. Tarif PPN khusus untuk transaksi kripto yang dulu membedakan antara transaksi spot, derivatif, dan produk digital kini dihapus. Rina merasa lega. Tidak ada lagi kebingungan menghitung persentase yang berbeda-beda setiap jenis transaksi. Tapi ia juga sedikit waswas. Jika aturan baru belum menetapkan tarif pengganti, berarti harus ada pemahaman lebih mendalam tentang bagaimana pelaporan dilakukan. Dunia aset digital memang bergerak cepat, tapi pemerintah tampaknya ingin memastikan pajak tetap bisa mengimbangi laju pergerakannya. Rina memutuskan untuk merapikan catatan transaksi sebelum akhir bulan, karena ia tahu, kesalahan kecil di dunia pajak bisa berbuntut panjang.

Sementara itu, di pusat kota, sebuah dealer mobil sport tengah menghitung ulang harga. PMK 131/2024 menetapkan tarif PPN untuk barang mewah naik menjadi 12%. Mobil sport yang kemarin dijual Rp4 miliar, sebentar lagi akan dibanderol lebih tinggi. Manajer pemasaran dealer itu mengerti bahwa bagi sebagian pembeli, kenaikan harga bukanlah masalah besar—mereka membeli karena gaya hidup, bukan sekadar harga. Tapi tetap saja, ada strategi penjualan yang perlu disesuaikan. Promo akhir tahun mungkin harus dimajukan, dan iklan harus lebih menekankan eksklusivitas, bukan sekadar potongan harga.

Tak jauh dari sana, Dika, seorang desainer grafis lepas, sedang mengutak-atik desain poster. Notifikasi dari Netflix muncul di layar ponselnya: biaya langganan akan sedikit naik bulan depan. Bagi sebagian orang, ini kabar biasa. Tapi Dika tahu, ini terkait dengan PER-12/PJ/2025—aturan baru yang mengenakan PPN pada layanan digital luar negeri. Netflix, Spotify, bahkan layanan penyimpanan cloud tempat Dika menyimpan file desain kini masuk radar pajak. Baginya, ini tanda bahwa dunia digital tak lagi berada di “wilayah bebas” pajak. Pemerintah ingin memastikan bahwa konsumsi digital pun ikut menyumbang pendapatan negara, sama seperti belanja fisik.

Keempat peraturan ini, jika dibaca di atas kertas, hanyalah pasal demi pasal yang disusun rapi. Tapi di lapangan, setiap aturan punya wajah dan ceritanya sendiri. Ada rasa lega karena proses dipermudah, ada tantangan karena biaya meningkat, ada kewaspadaan karena masa transisi butuh adaptasi. Seperti persimpangan jalan, kita dihadapkan pada pilihan: melawan arus dengan mengabaikan aturan, atau menyesuaikan diri dan mencari cara agar tetap bisa melangkah maju tanpa kehilangan kendali.

Banyak pengusaha kecil merasa khawatir. Mereka takut aturan baru akan membuat beban administrasi bertambah, padahal waktu mereka sudah habis untuk mengurus operasional harian. Tapi ada juga yang melihat ini sebagai peluang. Dengan digitalisasi pelaporan pajak, misalnya, mereka bisa menghemat waktu dan biaya akuntan. Sebuah warung kopi di Depok bahkan mulai mengajarkan kasirnya cara input data penjualan ke sistem e-Faktur. “Kalau semua serba online, kita jadi nggak perlu kirim berkas ke kantor pajak. Hemat ongkos, hemat waktu,” kata pemiliknya sambil tersenyum.

Di sektor digital, peraturan PPN atas layanan asing memicu perdebatan. Sebagian pengguna mengeluh karena harga langganan naik, tapi di sisi lain, ini dianggap langkah adil. Selama ini, perusahaan digital raksasa bisa menikmati pasar Indonesia tanpa membayar pajak di sini secara penuh. Kini, kontribusi mereka lebih terasa. Pemerintah berargumen bahwa pajak seperti ini adalah bentuk keadilan fiskal, agar beban pembangunan tidak hanya ditanggung pelaku usaha lokal.

Namun, tidak semua perubahan disambut hangat. Kenaikan PPN untuk barang mewah, misalnya, menimbulkan reaksi beragam. Bagi kelas atas, ini mungkin hanya menambah sedikit angka di tagihan. Tapi bagi industri penjualan barang mewah, setiap persen kenaikan berarti harus memikirkan ulang strategi penjualan. Beberapa dealer mobil mewah mulai menawarkan paket layanan purna jual gratis untuk menutupi rasa “mahal” di mata konsumen. Industri perhiasan juga mulai gencar mengedukasi bahwa perhiasan adalah investasi jangka panjang, bukan sekadar barang konsumtif.

Di dunia kripto, penghapusan tarif khusus PPN memunculkan ruang kosong yang membingungkan. Para pelaku pasar menunggu aturan lanjutan sambil mencoba menafsirkan pasal-pasal yang ada. Ada yang optimis ini akan membuat regulasi kripto lebih sederhana, ada juga yang cemas akan munculnya ketentuan baru yang lebih ketat. Di sinilah peran edukasi pajak menjadi krusial. Banyak komunitas trader mulai mengadakan webinar gratis untuk membantu anggotanya memahami implikasi pajak terbaru.

Dalam semua perubahan ini, satu hal yang pasti: ketidakpastian adalah bagian dari perjalanan. Pajak selalu bergerak mengikuti perkembangan zaman. Dari era buku catatan manual, ke era pelaporan elektronik, hingga kini menyentuh transaksi digital yang bahkan tidak mengenal batas negara. Pemerintah berada di posisi sulit: harus memastikan pendapatan negara tetap stabil, sambil tidak mematikan kreativitas dan pertumbuhan usaha.

Bagi Wajib Pajak, berada di persimpangan seperti ini membutuhkan sikap bijak. Ada yang memilih memandang pajak sebagai beban yang harus dihindari, tapi ada juga yang melihatnya sebagai bagian dari kontribusi. Dalam perspektif yang lebih luas, pajak adalah bentuk gotong royong modern. Kita mungkin tidak lagi membangun jembatan dengan tenaga fisik seperti zaman dulu, tapi setiap rupiah pajak yang kita bayar adalah batu bata yang menyusun jalan, sekolah, rumah sakit, dan layanan publik lainnya.

Andi, Rina, Dika, dan para pelaku usaha lainnya adalah gambaran nyata bahwa pajak bukan sekadar urusan negara, tapi urusan kita bersama. Mereka mungkin berbeda latar belakang dan bidang usaha, tapi satu hal yang sama: semua harus menyesuaikan diri. Andi harus belajar mengelola PPh sewa, Rina harus siap mencatat transaksi kripto dengan lebih teliti, dealer mobil harus kreatif menjaga minat pembeli, dan Dika harus menyesuaikan pengeluaran langganan digitalnya.

Persimpangan ini tidak selalu nyaman. Tapi seperti halnya perjalanan di jalan raya, kita harus memilih jalur yang membuat kita tetap melaju. Mengabaikan rambu bisa membuat kita terjebak masalah. Mengikuti rambu dengan cerdas bisa membuat kita tiba di tujuan lebih aman.

Perubahan pajak 2025 mungkin hanyalah awal dari rangkaian reformasi fiskal yang lebih besar. Di balik angka dan pasal, ada semangat untuk menciptakan sistem yang lebih transparan, modern, dan inklusif. Bagi kita, tantangannya adalah bagaimana menjadikannya bagian dari strategi, bukan sekadar kewajiban yang memberatkan. Karena pada akhirnya, persimpangan ini akan membawa kita ke arah yang kita pilih sendiri—apakah itu jalan yang penuh hambatan, atau jalan yang membuka peluang.

Dan seperti kata pepatah lama yang kini terasa relevan di dunia pajak: “Jalan yang sulit sering kali membawa kita ke tujuan yang indah.”

Simak berita dan artikel lainnya di Google News


Baca Juga