Ketua Umum Perhimpunan Pergerakan Jejaring Nasional Aktivis 98 (PPJNA 98), Anto Kusumayuda, menyatakan dukungan penuhnya terhadap pernyataan politisi senior Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, yang menyebut adanya upaya adu domba dan provokasi melalui simbol-simbol budaya populer, termasuk bendera bajak laut One Piece, dalam sejumlah unjuk rasa dan aktivitas politik belakangan ini.
Dalam keterangannya, Anto menegaskan bahwa penggunaan simbol asing seperti bendera One Piece tidak bisa dipandang remeh, terlebih bila dimanfaatkan untuk membungkus narasi-narasi provokatif yang berpotensi memecah belah kesatuan bangsa.
“Kami dari PPJNA 98 mendukung sepenuhnya pernyataan Bang Dasco. Ini bukan sekadar urusan bendera fiksi dari anime. Ini soal bagaimana kekuatan tertentu mencoba memanfaatkan simbol populer untuk membangun identitas tandingan, menyusupkan pesan-pesan subversif, dan mengadu domba antarkelompok masyarakat, bahkan bisa jadi antar-lembaga negara,” ujar Anto dalam pernyataan di Jakarta, Selasa (5/8).
Anto menjelaskan bahwa fenomena penggunaan simbol budaya populer dalam aksi politik bukan hal baru, namun dalam konteks Indonesia yang sensitif terhadap disintegrasi dan konflik sosial, upaya semacam itu harus diwaspadai.
“Simbol seperti bendera One Piece, yang di permukaan mungkin terlihat lucu atau keren, sebenarnya bisa dijadikan alat rekayasa psikologis. Apalagi kalau digunakan dalam gerakan massa yang tidak memiliki struktur dan visi yang jelas. Sangat berbahaya jika di balik itu ada agenda tersembunyi dari kelompok-kelompok yang ingin merusak tatanan demokrasi,” tegasnya.
Menurut Anto, PPJNA 98 yang berisi aktivis-aktivis reformasi sejak 1998 paham betul pola-pola infiltrasi semacam ini. Ia menuding ada kekuatan yang ingin menjadikan anak muda sebagai “pasukan proksi” dalam konflik horizontal maupun vertikal.
“Mereka tahu anak muda menggemari anime, komik, dan budaya Jepang. Lalu, hal itu disusupi pesan-pesan perlawanan liar, anti-negara, atau anti-otoritas. Bendera bajak laut menjadi simbol perlawanan semu. Tapi kalau itu dipakai untuk menyerang lembaga negara dan pejabat publik dengan cara membabi buta, itu jelas bukan ekspresi demokrasi. Itu provokasi,” ucapnya lagi.
Anto pun mengingatkan agar semua pihak – khususnya kaum muda dan komunitas digital – tidak mudah terpengaruh narasi-narasi liar yang dikemas dengan cara kreatif, tetapi punya tujuan destruktif. Ia menegaskan bahwa demokrasi harus dijaga dari infiltrasi simbolik yang tidak bertanggung jawab.
PPJNA 98 juga menyoroti adanya akun-akun di media sosial yang secara masif menyebarkan potongan gambar aksi unjuk rasa dengan bendera bajak laut One Piece, namun disertai caption yang menyerang personal tokoh-tokoh pemerintahan, bahkan dengan narasi hoaks dan fitnah.
“Jangan sampai anak-anak muda kita yang kreatif justru jadi korban adu domba, dijadikan pion oleh kekuatan yang ingin mendelegitimasi pemerintahan yang sah. Ini bentuk baru dari perang informasi, dan kami di PPJNA 98 akan terus melakukan edukasi dan kontra-narasi,” tegas Anto.
Sebagai langkah konkret, PPJNA 98 akan melakukan roadshow ke berbagai kampus, komunitas, dan ruang publik digital untuk membahas isu simbol-simbol budaya pop dan potensi penyalahgunaannya dalam gerakan politik.
“Kita akan berdialog langsung dengan mahasiswa, kreator konten, pegiat komunitas anime dan budaya Jepang, agar mereka tidak terjebak pada narasi-narasi manipulatif. Kita dorong anak muda tetap kritis, tetapi jangan jadi alat dari kekuatan destruktif,” kata Anto.
Ia pun menegaskan bahwa PPJNA 98 akan menjadi mitra strategis pemerintah dan elemen masyarakat dalam menjaga ketahanan sosial, khususnya dari infiltrasi budaya pop yang digunakan untuk kepentingan adu domba dan disinformasi.