Oleh: Rokhmat Widodo, Pengamat Politik
Isu Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar bukan semata-mata soal regenerasi kepemimpinan partai berlambang pohon beringin. Di balik dinamika itu, tersimpan pertarungan yang lebih dalam, yakni konflik identitas ideologis dan jaringan antar organisasi mahasiswa Islam terbesar di Indonesia: Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Pertarungan ini mencuat seiring dengan mencuatnya dua nama yang digadang-gadang menjadi poros kekuatan dalam Munaslub Partai Golkar. Di satu sisi ada Bahlil Lahadalia, Ketua Umum Golkar saat ini, yang merupakan alumni HMI dan dekat dengan jejaring aktivis hitam-hijau. Di sisi lain, muncul nama Nusron Wahid, mantan Ketua Umum Pengurus Besar PMII, yang konsolidasi dan loyalisnya perlahan menguat di internal DPD-DPD Golkar menjelang Munaslub.
Meski secara eksplisit pertarungan ini tidak disebut sebagai konflik organisasi eksternal, namun secara simbolik dan strategi politik, narasi pertarungan HMI vs PMII sengaja dikembangkan. Tujuannya jelas: kubu Bahlil mencoba mempersatukan jejaring HMI di internal Partai Golkar agar menjadi satu kekuatan solid yang tidak bisa digoyahkan oleh manuver politik lawan.
Dalam beberapa bulan terakhir, terlihat bagaimana kubu Bahlil mendorong narasi bahwa pergantian ketua umum bukan hanya persoalan teknokrasi, tetapi juga “identitas” kekuatan lama vs kekuatan baru. Di balik layar, pertemuan-pertemuan kader HMI di tubuh Golkar dimobilisasi sebagai konsolidasi diam-diam. Strategi ini bisa disebut sebagai simbolisasi kultural di mana loyalitas kader bukan hanya karena jabatan, tapi karena “ikatan emosional” sebagai satu keluarga ideologis.
Secara taktis, strategi ini efektif, karena jaringan HMI memang luas, lintas partai, dan memiliki tradisi kuat dalam mengelola organisasi politik. Namun di sisi lain, strategi ini juga memunculkan resistensi, terutama dari kelompok yang selama ini merasa terpinggirkan dalam tubuh Golkar, termasuk dari kader berlatar belakang PMII.
Kubu Nusron Wahid memainkan strategi yang berbeda. Meskipun jumlah kader PMII di Golkar tergolong minoritas, namun posisi strategis dan simbolik mereka tidak bisa diremehkan. Salah satu contohnya adalah Idrus Mahram, Wakil Ketua Umum Golkar, yang juga berasal dari PMII. Walaupun secara terbuka Idrus menyatakan mendukung Bahlil dan menolak Munaslub, namun ini bisa dibaca sebagai strategi bertahan sambil menyusun kekuatan.
Pernyataan dukungan ini bukan jaminan loyalitas permanen. Dalam politik, khususnya dalam partai sebesar Golkar, manuver dan sikap bisa berubah dengan cepat, tergantung konstelasi kekuatan menjelang hari-H Munaslub. Bisa jadi, sikap Idrus adalah permainan dua kaki: menenangkan kubu Bahlil sembari memberi sinyal bahwa kekuatan PMII bisa digerakkan pada saat yang tepat.
Yang tak kalah penting, pertarungan HMI vs PMII ini menunjukkan bahwa isu Munaslub tidak hanya tentang siapa yang jadi ketua umum, tetapi tentang reposisi kekuasaan jaringan ideologis di dalam partai. Munaslub menjadi medan pertarungan terbuka antara elite politik lama dan baru, sekaligus uji kekuatan konsolidasi organisasi eksternal mahasiswa Islam.
Partai Golkar selama ini dikenal sebagai partai yang pragmatis, tidak terlalu terikat pada ideologi, namun dalam situasi politik transisi, pragmatisme itu bisa menjadi alat bagi kelompok tertentu untuk menggalang kekuatan berbasis ideologis—seperti yang dilakukan Bahlil lewat jejaring HMI.
Sementara itu, Nusron memanfaatkan posisi uniknya sebagai representasi “wajah baru NU” dalam Golkar, tanpa harus membawa bendera PBNU secara langsung. Ini juga menjadi bagian dari strategi halus untuk meraih simpati kader-kader muda Golkar yang selama ini tak terlalu terdampak oleh narasi HMI-HMI-an.
Secara politis, Bahlil berada dalam posisi yang cukup kuat jika ia mampu menjaga kesolidan internal HMI dan mendapatkan dukungan dari DPP dan DPD-DPD strategis. Namun, Nusron memiliki keunggulan jaringan struktural dan ideologis yang pelan-pelan naik daun, terutama jika ia mampu memainkan isu “pembaruan Golkar” atau pergeseran dari dominasi status quo.
Jika dinamika ini terus berkembang, maka Munaslub Golkar bisa menjadi titik balik dalam sejarah pertarungan kultural politik Islam modern di Indonesia—bukan antara Islam tradisional dan modernis, tetapi antara dua kekuatan besar yang tumbuh dari rahim pergerakan mahasiswa Islam.
Dalam konteks politik kekuasaan nasional, siapa pun yang menang dalam Munaslub ini, bisa menjadi kunci penting dalam peta koalisi Pilpres 2029. Apakah Golkar akan tetap menjadi penopang utama kekuasaan nasional, atau menjadi pemain tengah yang fleksibel tergantung arah angin, ditentukan oleh bagaimana HMI dan PMII memetakan kekuatan mereka di Munaslub ini.
Pertarungan antara Bahlil Lahadalia dan Nusron Wahid dalam Munaslub Partai Golkar bukan hanya soal siapa yang memimpin partai ke depan. Ini adalah refleksi dari dinamika ideologis, simbolik, dan jaringan aktivisme yang sudah berlangsung sejak kampus, kini diangkat ke dalam level kekuasaan nasional. Dan seperti halnya sejarah Partai Golkar, siapa yang paling lihai membaca peta dan memanfaatkan simbol serta jaringan, dia lah yang akan menang.





