Oleh: Budi Puryanto, Alumni Teknik Kimia ITS
Isu keaslian ijazah Presiden Indonesia ke-7 Joko Widodo (Jokowi) kembali menjadi sorotan publik. Dalam pusaran narasi yang berkembang di ruang publik, baik media sosial maupun forum-forum diskusi, isu ini kerap dijadikan alat untuk merongrong legitimasi moral dan legal mantan Wali Kota Solo itu. Namun, di tengah riuhnya spekulasi dan tudingan, sejumlah tokoh akademik dan intelektual telah memberikan kesaksian yang menegaskan keaslian ijazah Jokowi. Dua nama penting yang patut disorot adalah Prof. Koentjoro, guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Prof. Paiman Raharjo, mantan Rektor Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama).
Prof. Koentjoro bukanlah pendukung buta Jokowi. Sebaliknya, dalam berbagai kesempatan ia menunjukkan sikap kritis terhadap kebijakan Jokowi, termasuk dalam isu-isu yang berkaitan dengan independensi kampus, netralitas akademisi, dan kondisi sosial politik nasional. Namun, ketika ditanya soal keaslian ijazah Jokowi, ia berdiri tegak di atas integritas ilmiah dan institusional.
Dalam acara Rosi yang tayang di Kompas TV, Prof. Koentjoro menegaskan bahwa Universitas Gadjah Mada telah memverifikasi dan menyatakan secara resmi bahwa ijazah Jokowi adalah asli. Ia menyayangkan isu ini terus digoreng karena mencederai nama baik UGM sebagai lembaga pendidikan yang menjunjung tinggi kredibilitas dan transparansi akademik.
Menurut Prof. Koentjoro, UGM memiliki sistem dokumentasi dan verifikasi data lulusan yang sangat ketat, dan tidak mungkin meluluskan seseorang tanpa proses akademik yang sah. Ia bahkan menyebut bahwa penyebaran narasi ijazah palsu tidak hanya merusak nama Jokowi, tetapi juga mencoreng marwah institusi pendidikan tinggi secara keseluruhan.
Nama Prof. Paiman Raharjo juga penting untuk dicermati. Sebagai sahabat lama Jokowi dan akademisi senior, ia menyatakan dengan lugas bahwa ijazah Jokowi tidak palsu. Pernyataannya bukan semata karena kedekatan personal, tapi lebih pada tanggung jawab moral sebagai akademisi.
Dalam berbagai forum, Prof. Paiman menyampaikan bahwa Jokowi memang menyelesaikan studi di Fakultas Kehutanan UGM dan berhak menyandang gelar sarjana dari institusi tersebut. Sebagai mantan Rektor Universitas Moestopo (Beragama), ia memahami bagaimana sistem administrasi akademik berjalan, dan tidak mungkin ada rekayasa dalam penerbitan ijazah tanpa jejak birokrasi yang sah.
Ia juga menambahkan bahwa selama masa kuliah, Jokowi dikenal sebagai mahasiswa yang sederhana, rajin, dan memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat, karakteristik yang terus dibawanya hingga ke panggung politik nasional.
Jika para akademisi sudah bicara, dan institusi resmi seperti UGM telah mengeluarkan pernyataan resmi, mengapa isu ijazah palsu ini terus mengemuka?
Pertama, isu ini telah menjadi bagian dari perang opini politik. Bagi sebagian pihak, meragukan keabsahan ijazah adalah salah satu cara melemahkan fondasi legitimasi Jokowi. Di era post-truth seperti saat ini, narasi sering kali lebih dipercaya dibanding data.
Kedua, maraknya disinformasi dan polarisasi politik di media sosial membuat isu semacam ini mudah menyebar, bahkan ketika telah berkali-kali dibantah oleh otoritas yang kompeten.
Ketiga, sebagian masyarakat terjebak dalam logika konspirasi, yang menganggap bahwa semua pembelaan terhadap Jokowi adalah hasil rekayasa kekuasaan. Dalam logika semacam ini, kebenaran akademik dianggap tidak lebih penting dibanding persepsi subjektif.
Penting untuk menyadari bahwa pendidikan tinggi bukan sekadar tempat belajar, tetapi juga benteng integritas ilmu pengetahuan. Ketika ijazah dari lembaga seperti UGM dipertanyakan tanpa dasar yang sahih, maka yang dipertaruhkan bukan hanya nama pribadi seperti Jokowi, tetapi juga kredibilitas seluruh sistem pendidikan Indonesia.
Prof. Koentjoro dan Prof. Paiman telah menunjukkan bahwa meski memiliki posisi berbeda secara politik atau personal, mereka tetap menjunjung tinggi objektivitas ilmiah. Ini adalah teladan penting bagi masyarakat dan para elit bangsa.
Kita bisa saja mengkritik Jokowi atas kebijakan publiknya, keputusan politiknya, atau gaya kepemimpinannya. Namun, menyerang aspek privat seperti keaslian ijazah tanpa bukti yang sah, justru menunjukkan kemunduran nalar publik kita.
Bangsa ini memerlukan ruang perdebatan yang sehat, berbasis pada data dan rasionalitas, bukan pada sentimen dan hoaks. Tugas kita bersama adalah menjaga agar demokrasi tidak jatuh menjadi demokrasi kebencian dan fitnah. Jika pun hendak melakukan kritik, marilah kita arahkan pada hal-hal substantif, bukan pada hal-hal yang sudah terkonfirmasi secara ilmiah dan resmi.
Prof. Koentjoro dan Prof. Paiman telah berbicara. Kini, giliran kita sebagai publik untuk mendengarkan dengan jernih dan berpikir secara waras. Karena bila kampus sudah tak lagi dipercaya, maka apa lagi yang bisa kita pegang sebagai kebenaran?