Oleh: Firman Tendry Masengi
Di negara hukum, satu kebohongan bukan sekadar dosa pribadi—ia adalah pembuka gerbang kebohongan sistemik. Dalam dunia hukum, adagium “Falsus in uno, falsus in omnibus” telah menjadi prinsip klasik yang tak pernah kehilangan relevansi: siapa yang berbohong dalam satu hal, tak layak dipercaya dalam hal lain. Adagium ini kini menghantui Istana, bersemayam dalam dokumen yang seharusnya paling mendasar: ijazah Presiden Republik Indonesia.
Kepalsuan, Hancurnya Legitimasi
Kasus dugaan ijazah palsu Joko Widodo bukanlah sekadar persoalan administratif atau kesalahan teknis. Ini adalah indikator rusaknya sendi kepercayaan publik terhadap seorang kepala negara. Bila benar terdapat manipulasi dalam dokumen formal seperti ijazah, maka seluruh bangunan legitimasi yang dibangun di atasnya runtuh secara moral dan etik, bukan hanya legal.
Dalam ranah pidana dan etika pemerintahan, prinsip falsus in uno berlaku dengan ketat. Jika satu bagian dari identitas kenegaraan dibangun di atas kebohongan, maka seluruh narasi tentang integritas pemimpin bangsa patut diragukan. Ijazah yang palsu membuka kemungkinan bahwa kebijakan, pengangkatan pejabat, hingga pengelolaan kekuasaan dilakukan oleh seseorang yang mendasarkan kekuasaannya bukan pada kejujuran, melainkan pada kebohongan.
Kematian Prinsip Openbaarheid van Bestuur
Bahkan yang lebih menyedihkan, negara ini dengan sadar membiarkan kematian prinsip keterbukaan informasi publik—openbaarheid van bestuur—di tangan lembaga-lembaga yang justru diberi amanat untuk menjaganya.
Ketika masyarakat meminta bukti otentik ijazah seorang presiden, yang keluar adalah pengaburan, pengalihan isu, bahkan kriminalisasi para pelapor. Alih-alih membuka informasi dan menyelesaikan masalah dengan transparan, negara justru mengerahkan aparat hukum untuk membungkam pertanyaan, bukan menjawabnya.
Padahal, dalam openbaarheid van bestuur, warga negara berhak tahu, dan negara berkewajiban menjelaskan. Dalam prinsip ini, kekuasaan tidak dimiliki oleh pejabat, tapi dipinjam dari rakyat, sehingga setiap informasi terkait kekuasaan bukanlah milik pribadi, melainkan milik publik.
Negara Dalam Ujian Etika
Guru Besar Hukum Tata Negara, Prof. Zainal Arifin Mochtar, pernah mengingatkan bahwa “transparansi adalah ibu dari demokrasi”. Jika negara gagal membuka informasi mendasar seperti ijazah seorang presiden, maka yang sedang dibunuh bukan hanya logika hukum, tapi jiwa demokrasi itu sendiri.
Sementara itu, dalam pendekatan hukum pidana, pakar hukum seperti Dr. Margarito Kamis menyatakan bahwa pemalsuan dokumen negara, apalagi digunakan dalam proses politik seperti pemilu, adalah delik serius yang tidak bisa dianggap remeh. Ini bukan soal siapa yang menjadi presiden, tapi soal apakah hukum masih berdiri di atas kebenaran atau telah ditelan oleh kekuasaan.
Negara Dipimpin oleh Ilusi, Bukan Konstitusi
Jika benar Presiden Joko Widodo menggunakan ijazah yang palsu, maka seluruh struktur kekuasaan berada dalam bayang-bayang ilusi legalitas. Kita tidak hanya menghadapi kebohongan personal, tetapi sistemik. Adagium falsus in uno, falsus in omnibus tidak bisa diabaikan dalam kasus ini. Ia adalah peringatan bahwa satu kepalsuan bisa melahirkan ratusan kebohongan berikutnya.
Sementara itu, negara terus mengingkari prinsip openbaarheid van bestuur, dan justru menggunakan hukum sebagai alat kekerasan, bukan keadilan. Maka saatnya kita bertanya: apakah negara ini masih dipimpin oleh hukum, atau oleh kepalsuan yang dilembagakan?
Jika tidak ada keberanian untuk menguak kebenaran dalam kasus ini, maka bangsa ini akan terus hidup dalam republik simulakra, di mana fakta dibungkam, dan rakyat dijadikan objek manipulasi kekuasaan. Kita tidak lagi dipimpin oleh presiden, tapi oleh manusia fiktif yang dibungkus protokol dan perlindungan aparat.
Dan saat itu tiba, maka kehancuran demokrasi bukan karena kudeta atau perang, tetapi karena satu hal kecil yang dianggap remeh: ijazah yang tidak bisa dibuktikan keasliannya.





