Oleh: Budi Puryanto, Alumni ITS dan Pemred zonasatunews
Dalam hiruk-pikuk ibu kota, di antara gedung-gedung pencakar langit dan lalu lintas yang tak pernah tidur, berdiri sebuah kampus internasional yang menjadi pusat perhatian: University of Jakarta International. Di balik nama besar institusi ini, ada sosok sederhana yang kerap disangka staf biasa karena kerendahan hatinya: Prof. Dr. Paiman Raharjo.
Ia bukan tipikal pemimpin yang sulit dijangkau. Coba saja kirim pesan WhatsApp dengan nama jelas, dan Anda akan menerima balasan. Bila tak sengaja telepon Anda tak terangkat, ia justru menelepon balik. Sebuah kebiasaan yang semakin langka, apalagi dari seseorang yang menyandang gelar profesor dan menjabat rektor sebuah universitas bertaraf internasional.
Namun di situlah letak kekuatan Prof Paiman: ia hadir bukan hanya sebagai pemimpin akademik, melainkan sebagai manusia yang sepenuhnya sadar dari mana ia berasal, dan kepada siapa ia harus hadir.
Kisah hidup Prof Paiman Raharjo lebih menyerupai novel inspiratif daripada realitas biasa. Sebelum mengenakan toga dan memimpin lembaga pendidikan tinggi, ia pernah menyapu lantai dan menjaga keamanan kampus sebagai satpam. Dua profesi yang dalam dunia akademik kerap luput dari perhatian.
Tapi Paiman muda tidak pernah merasa malu. Sambil menyapu halaman dan mengepel lantai, pikirannya terus mengejar impian. Uang hasil kerjanya digunakan untuk membiayai kuliah. Hidup keras bukan alasan untuk menyerah—baginya, kerja keras adalah jalan yang harus ditempuh.
“Saya hanya percaya satu hal,” ungkapnya dalam satu kesempatan wawancara, “bahwa ilmu tidak mengenal kasta.”
Perlahan namun pasti, pendidikan membukakan pintu demi pintu. Hingga akhirnya, gelar doktor berhasil diraih. Tak cukup sampai di situ, ia kemudian menyabet gelar profesor, sebuah pencapaian akademik tertinggi yang tak semua orang mampu raih. Namun, jejak-jejak masa lalu itu tidak ia buang. Justru menjadi kompas moral dalam memimpin.
Berbeda dari banyak petinggi universitas lainnya, Prof Paiman dikenal tidak menjaga jarak. Ia lebih senang berdiri sejajar daripada berdiri di menara gading. Setiap kali berjalan di koridor kampus dan berpapasan dengan mahasiswa, ia tak sungkan menyapa lebih dulu, menanyakan kabar perkuliahan, bahkan berdiskusi ringan soal skripsi atau rencana karier.
Bagi sebagian mahasiswa, pengalaman disapa langsung oleh rektor bisa menjadi pengalaman tak terlupakan. “Saya pikir beliau hanya staf kampus, ternyata rektornya sendiri,” ujar Nadia, mahasiswi University of Jakarta International. “Tapi itulah Prof Paiman. Ramah, hangat, dan tidak pernah menganggap dirinya lebih tinggi dari kami.”
Keramahannya tidak hanya berlaku bagi mahasiswa. Dalam jam makan siang, ia kerap terlihat makan bersama office boy, petugas kebersihan, atau staf administrasi. Tanpa protokol. Tanpa ajudan. Tanpa pembatas kelas sosial.
“Karena saya tahu persis rasanya jadi mereka,” ujarnya suatu waktu. “Saya pernah ada di posisi itu. Tidak ada manusia yang lebih tinggi dari manusia lainnya. Yang membedakan hanya kesempatan dan pilihan untuk berjuang.”
Rekam jejak Prof Paiman tidak hanya mencakup dunia akademik. Ia sempat menjabat sebagai Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Wamendes PDTT). Di sana, ia membawa semangat yang sama: menjembatani antara kebijakan dan akar rumput.
Pengalamannya di pemerintahan membuatnya paham pentingnya pendidikan yang tidak hanya menghasilkan gelar, tetapi juga membentuk karakter dan kepekaan sosial. Tak heran, dalam kepemimpinannya, University of Jakarta International mendorong program-program pemberdayaan masyarakat dan riset-riset terapan yang menyentuh langsung kebutuhan rakyat.
Banyak orang hebat dilahirkan oleh gelar. Tapi sedikit yang menjadikan gelarnya sebagai alat untuk mengangkat orang lain. Prof Paiman termasuk yang langka. Ia bukan hanya profesor, tetapi juga guru kehidupan. Ia bukan hanya rektor, tapi juga pembelajar sejati tentang nilai-nilai kemanusiaan.
Di tengah zaman ketika banyak orang mengejar citra dan gengsi, kehadiran Prof Paiman Raharjo menjadi oase. Ia membuktikan bahwa karakter, bukan hanya kecerdasan, yang membuat seseorang benar-benar dihormati.
Baginya, membumi bukan berarti rendah, tetapi justru menjadi dasar yang kuat untuk terbang lebih tinggi. Dan dengan keteladanan yang ia tunjukkan setiap hari, Prof Paiman tidak hanya menginspirasi mahasiswa dan staf kampus, tetapi juga siapa pun yang percaya bahwa mimpi bisa diwujudkan dari titik paling bawah—asal ada tekad, kejujuran, dan keberanian untuk terus melangkah.