Oleh: Budi Puryanto, Alumni ITS dan Pemred Zonasatunews
“Orang miskin dilarang sekolah.” Ungkapan ini bukan sekadar lelucon getir, melainkan potret pahit realitas yang masih dialami sebagian besar rakyat Indonesia. Bagi mereka yang lahir dalam kemiskinan, sekolah tinggi adalah kemewahan, bahkan kemustahilan. Biaya mahal, akses terbatas, hingga beban mental karena minder atau merasa “bukan kelasnya” menjadi tembok besar yang sulit ditembus.
Namun, sejarah selalu punya pengecualian. Dan dalam konteks Indonesia modern, salah satu nama yang berdiri tegak sebagai pengecualian itu adalah Paiman Raharjo.
Paiman bukan anak jenderal. Ia juga bukan putra konglomerat. Ia lahir dari keluarga miskin, di sebuah dusun yang bahkan namanya tidak dikenal peta di Klaten Jawa Tengah. Orang tuanya adalah petani kecil yang setiap hari berkutat dengan lumpur dan panas. Mimpi terbesar sebagian pemuda di desanya hanyalah bisa jadi buruh pabrik atau sopir angkot.
Namun Paiman muda berbeda. Ia selalu haus ilmu. Ia rela berjalan berkilo-kilo meter demi bisa mencapai sekolah. Kadang ia harus belajar dengan penerangan seadanya, atau bahkan perut kosong. Tapi ia tetap melangkah. Tidak menyerah.
“Saya tidak punya uang, tapi saya punya kemauan,” ucap Paiman dalam salah satu forum akademik.
Kalimat ini bukan slogan. Ia adalah janji yang ditepati. Paiman tak hanya menamatkan pendidikan dasarnya, tapi juga terus menanjak. Dari SMA ke universitas. Dari sarjana ke magister. Dan akhirnya, meraih gelar Profesor — gelar akademik tertinggi yang kerap dianggap sebagai “hak istimewa” kaum elit akademisi.
Tapi Paiman tak berhenti di menara gading kampus. Ia ingin menjadi pelayan masyarakat. Baginya, ilmu bukan untuk dibanggakan, tapi untuk diabdikan.
Maka Paiman pun melangkah ke dunia birokrasi. Ia dipercaya menjadi Rektor Universitas Moestopo (Beragama) di Jakarta. Lalu kariernya terus melejit. Pemerintah melihat kapasitas dan integritasnya. Hingga akhirnya ia diangkat sebagai Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia di era Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)
Bayangkan. Seorang anak kampung, anak petani miskin, kini duduk di meja kebijakan, menentukan arah pembangunan desa-desa seluruh Indonesia. Ia paham betul jerit dan harap desa karena ia lahir dari rahim desa. Ia tak lupa asalnya, dan justru menjadikannya kompas moral dalam mengabdi.
Sebagai profesor, Paiman tidak sekadar menulis jurnal ilmiah atau berbicara dalam seminar. Ia aktif turun ke bawah. Ia mengajar bukan hanya di ruang kelas, tapi juga di ruang-ruang desa dan komunitas rakyat.
Ia percaya, pendidikan sejati adalah pendidikan yang membebaskan, yang mencerahkan, dan yang menjadikan manusia lebih manusiawi.
Sebagai pejabat negara, ia tidak duduk di menara gading kekuasaan. Ia turun ke desa, mendengar suara nelayan, petani, buruh tani. Ia paham bahwa pembangunan bukan sekadar angka dalam laporan, tapi perubahan nyata dalam kehidupan rakyat kecil.
Paiman Raharjo adalah contoh hidup bahwa kemiskinan bukan alasan untuk berhenti bermimpi. Ia menunjukkan bahwa jika seseorang punya niat kuat, kerja keras, dan integritas, maka tak ada yang mustahil.
Ia menghancurkan stigma bahwa anak miskin hanya boleh bermimpi kecil. Ia membuktikan bahwa kursi profesor dan jabatan menteri bukan milik segelintir orang kaya atau elit politik saja. Pintu itu terbuka bagi siapa saja yang mau berjuang.
Indonesia saat ini masih menyimpan jutaan anak muda dari keluarga miskin. Mereka cerdas, semangat, tapi tak punya akses. Kisah Paiman adalah lentera bagi mereka. Bahwa dalam dunia yang terasa gelap, selalu ada cahaya bagi mereka yang tak menyerah.
Di tengah arus pragmatisme dan gaya hidup instan, kisah seperti Paiman menjadi pengingat bahwa integritas, ketekunan, dan cinta ilmu masih relevan. Masih ada orang-orang yang naik ke puncak bukan karena koneksi atau kekayaan, tapi karena kualitas diri.
“Orang miskin tak perlu takut jadi pejabat. Tak perlu minder punya gelar tinggi. Justru karena miskin, kita harus berani belajar dan memimpin,” demikian pesan Paiman.
Hari ini, Indonesia butuh lebih banyak sosok seperti Paiman Raharjo — orang-orang dari bawah yang naik bukan dengan menyikut, tapi dengan membawa terang. Yang tidak melupakan asal, dan tak mengkhianati rakyat kecil yang mengangkatnya.
Dan untukmu, yang sedang membaca ini dari kursi sempit, rumah reyot, atau kos sederhana — ingatlah:
Contohlah Paiman Raharjo. Karena jika ia bisa, kamu juga bisa.