Langkah politikus senior Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, yang mendatangi kediaman almarhum Mohammad Hatta dan disambut hangat oleh ketiga putri proklamator, Meutia Hatta, Halida Hatta, dan Gemala Hatta, menjadi sorotan hangat di kalangan publik dan pengamat politik nasional. Tidak sedikit yang memandang kunjungan ini sebagai manuver politik menjelang dinamika penting di level nasional. Namun bagi sebagian lainnya, termasuk aktivis 98 yang kini tergabung dalam Perkumpulan Pergerakan Jaringan Nasional Aktivis 98 (PPJNA 98), kunjungan tersebut memiliki makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar pencitraan.
Anto Kusumayuda, Ketua Umum PPJNA 98, menilai bahwa kunjungan Dasco adalah peristiwa simbolik sekaligus strategis yang layak diapresiasi. Ia menyebut kunjungan itu sebagai bentuk penghormatan terhadap sejarah dan upaya membangun kembali koneksi ideologis dengan nilai-nilai yang diperjuangkan para pendiri bangsa.
“Apa yang dilakukan Pak Dasco adalah membangun jembatan historis dan kultural antar-generasi. Ini bukan soal politik kekuasaan semata, tapi bentuk kontemplasi terhadap akar sejarah bangsa. Menyambung tali batin dengan keluarga Bung Hatta adalah tindakan yang punya nilai simbolik tinggi,” ungkap Anto kepada media ini, Kamis (17/7).
Kedatangan Dasco ke rumah Bung Hatta dinilai sarat makna, apalagi dalam konteks kekinian, ketika politik Indonesia kerap dianggap jauh dari etika, idealisme, dan integritas yang dulu dijunjung tinggi para proklamator. Menurut Anto, Bung Hatta adalah sosok yang selama hidupnya memperlihatkan konsistensi terhadap nilai-nilai kejujuran, kesederhanaan, dan tanggung jawab moral dalam bernegara.
“Dengan menyambangi keluarga Bung Hatta, Dasco sedang mengingatkan kita bahwa bangsa ini lahir dari nilai, bukan dari kalkulasi. Politik yang terlalu transaksional hari ini perlu kembali direkatkan oleh moralitas sejarah yang kuat,” papar Anto.
Pertemuan Dasco dengan Meutia, Halida, dan Gemala tidak hanya menjadi nostalgia personal, tetapi juga menyimpan pesan bahwa pemimpin masa kini tak boleh lupa pada rujukan etik dan kultural para pendiri bangsa.
Lebih jauh, Anto menyebut kunjungan ini sebagai bentuk rekonsiliasi spiritual politik. Dalam pengertian ini, Dasco tengah mempertemukan garis perjuangan kontemporer dengan semangat dasar republik yang pernah diperjuangkan Hatta dan Soekarno.
“Silaturahmi ini bisa dianggap sebagai inisiasi moral. Di tengah kerasnya kontestasi politik, tindakan ini menyuguhkan sisi sejuk dari perpolitikan Indonesia—bahwa masih ada tokoh yang peduli pada rekam jejak sejarah dan etika berbangsa,” ujar Anto.
Tidak dapat dipungkiri bahwa langkah Dasco juga memiliki dimensi politik. Dalam tahun-tahun politik menjelang Pilkada dan wacana suksesi 2029, banyak tokoh nasional tengah membangun jejaring, tidak hanya elektoral, tetapi juga simbolik dan historis. Anto menganggap, apa yang dilakukan Dasco justru menunjukkan kecerdasan dalam merawat memori kolektif bangsa.
“Bung Hatta adalah simbol kebijakan moral. Dengan menyentuh sisi ini, Dasco secara cerdas dan halus mengirim pesan bahwa ia ingin berada di barisan yang menyeimbangkan politik kekuasaan dengan etika kebangsaan,” ujarnya.
Anto Kusumayuda menutup analisanya dengan seruan kepada seluruh tokoh nasional untuk meneladani sikap-sikap semacam ini—mengunjungi, merawat, dan menyerap ulang spirit para tokoh bangsa.
“Kita tak bisa bicara masa depan tanpa peta sejarah. Dasco sedang memberi contoh bahwa menyusun arah bangsa harus dimulai dari menghargai para peletak batu pertama republik ini,” pungkasnya.
Kunjungan ini pun disambut baik oleh publik, terutama generasi muda yang selama ini haus akan teladan politik yang beradab, santun, dan tidak kehilangan akarnya. Di tengah krisis kepercayaan terhadap elite, langkah Dasco menunjukkan bahwa politik masih punya ruang bagi kehangatan, penghormatan, dan kesadaran sejarah.