Penugasan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk fokus menangani masalah Papua dan bahkan berkantor di wilayah tersebut memantik sorotan tajam dari sejumlah pengamat politik dan intelijen. Salah satunya, Pengamat Geopolitik dan Intelijen Nasional, Amir Hamzah, yang menilai bahwa langkah Presiden Prabowo Subianto itu adalah sinyal politik yang kuat: Gibran mulai dikucilkan secara sistematis dari pusat kekuasaan nasional.
Amir menyebutkan bahwa penempatan Gibran di Papua ibarat penempatan seorang pejabat yang “disingkirkan secara halus” ke wilayah konflik, jauh dari hiruk-pikuk politik di ibu kota. “Kalau istilah di birokrasi atau militer, itu seperti dikirim ke pos perbatasan atau daerah operasi militer. Ada kesan bahwa Gibran sedang dijauhkan dari pengaruh Jakarta, dari pusat kendali kekuasaan,” ujar Amir dalam pernyataan kepada wartawan, Selasa (8/7).
Amir menilai penugasan ini bukan murni berdasarkan kebutuhan strategis penanganan Papua, tetapi lebih pada kalkulasi politik dalam lingkaran Istana. “Selama ini, Papua selalu menjadi ranah yang ditangani oleh TNI, BIN, dan kementerian terkait. Wapres selama ini lebih banyak peran simbolik. Tiba-tiba Gibran diberi peran taktis-strategis di Papua? Itu tidak lazim,” tegas Amir.
Menurutnya, penugasan ini menunjukkan dua hal: pertama, adanya upaya membatasi ruang gerak Gibran setelah dilantik menjadi Wakil Presiden; kedua, indikasi bahwa Prabowo ingin agar Gibran “sibuk sendiri” jauh dari pusat kekuasaan.
“Kalau Gibran sibuk dengan Papua, maka ia tidak akan punya waktu membangun jejaring politik di pusat. Padahal, dari awal, Gibran sudah punya basis elektoral, popularitas, dan jaringan relawan. Itu bisa dianggap ancaman oleh siapa pun yang duduk sebagai Presiden,” kata Amir.
Amir menyinggung bahwa penugasan pejabat ke Papua dalam sejarah Indonesia kerap diartikan sebagai bentuk pembatasan. “Papua itu wilayah sensitif, rawan konflik, dan secara geopolitik sangat kompleks. Mengirim pejabat tinggi ke sana bisa bermakna dua: memberi mandat besar atau menyingkirkan secara halus. Dalam kasus Gibran, saya melihat ini yang kedua,” tegasnya.
Amir bahkan menyamakan pola ini dengan strategi lama rezim-rezim sebelumnya, yang cenderung menggeser tokoh-tokoh potensial ke luar Jawa untuk meminimalkan pengaruhnya di pusat kekuasaan. “Dalam dunia intelijen politik, ini disebut isolasi fungsional. Masih diberi jabatan, tapi tidak lagi punya akses strategis,” katanya.
Langkah ini, menurut Amir, juga punya kaitan erat dengan peta politik 2029. Banyak kalangan melihat Gibran sebagai calon kuat penerus Prabowo jika tidak ada aral melintang. Namun bila sejak dini ia dikunci di wilayah pinggiran, maka peluang itu bisa terkikis.
“Peta kekuasaan itu dibentuk dari sekarang. Jika Gibran dijauhkan dari pusat, maka kemungkinan ia untuk jadi ‘kandidat kuat’ di 2029 akan semakin kecil. Dan itu mungkin memang sedang dirancang,” ucap Amir.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa upaya penyingkiran seperti ini justru bisa memperkuat simpati publik terhadap Gibran. “Bisa jadi ini bumerang. Rakyat melihat Gibran ‘dikorbankan’, dan itu justru bisa menaikkan citra politiknya. Apalagi kalau Gibran berhasil membuat perubahan nyata di Papua,” kata Amir.
Amir menilai Prabowo Subianto memainkan strategi halus untuk menyeimbangkan kekuatan internal Istana. Gibran diberi tugas, tetapi dengan ruang yang terisolasi. Publikasi penugasan ke Papua tampak sebagai bentuk pengakuan, padahal bisa saja dimaknai sebagai bentuk pengasingan politik yang canggih.
“Ini bukan konflik terbuka, tapi lebih ke pembatasan pengaruh. Dalam politik, itu lebih efektif karena tidak menimbulkan gejolak. Tapi aktor yang disingkirkan tetap bisa merasa: saya sedang dijauhkan,” tutup Amir Hamzah.