Ketegasan Prabowo dalam Pemberantasan Premanisme

Oleh: Rokhmat Widodo, Pengamat politik

Ketika Presiden Prabowo Subianto memberikan instruksi tegas kepada aparat penegak hukum untuk memberantas premanisme, publik langsung menyambutnya dengan beragam reaksi. Ada yang menyatakan harapan besar, ada yang merasa skeptis karena trauma masa lalu, ada juga yang mempertanyakan apakah langkah ini akan berkelanjutan atau sekadar simbol politik. Namun satu hal yang pasti: ini adalah momentum penting bagi arah baru penegakan hukum di Indonesia.

Premanisme di Indonesia bukan sekadar soal orang bertato yang memalak di terminal atau pasar. Lebih dalam dari itu, premanisme sudah menjadi masalah struktural yang berurat-berakar di dalam relasi kuasa antara aparat, penguasa lokal, ormas, bahkan kadang oknum pengusaha. Premanisme sering bersembunyi di balik seragam ormas, perizinan usaha, atau bahkan proyek-proyek pemerintah. Mereka menciptakan “ekonomi kegelapan” (shadow economy) yang menggerogoti sendi-sendi hukum formal.

Ambil contoh kasus penguasaan tanah BMKG di Tangerang Selatan oleh sekelompok preman yang baru-baru ini diungkap kepolisian. Ini bukan semata soal “preman liar” menduduki tanah negara, tetapi soal bagaimana jaringan kekuasaan informal bisa mengintervensi aset publik, memanipulasi legalitas, bahkan mengancam stabilitas institusi negara. Ketika Prabowo memerintahkan aparat untuk menindak tegas, sesungguhnya ia sedang mengguncang status quo yang sudah lama dibiarkan atau bahkan ditoleransi.

Langkah tegas Prabowo juga patut dilihat dalam kerangka politik nasional. Selama kampanye maupun awal pemerintahannya, Prabowo telah membangun citra sebagai “pemimpin kuat” yang tegas, nasionalis, dan tidak ragu memukul keras siapa pun yang mengganggu kepentingan negara. Instruksi pemberantasan premanisme sejalan dengan narasi ini.

Lebih jauh, Prabowo tampaknya sadar bahwa salah satu kelemahan pemerintahan sebelumnya adalah persepsi lemahnya penegakan hukum, khususnya terkait kekerasan jalanan, mafia tanah, dan ormas-ormas liar. Dengan memukul sektor premanisme, ia bukan hanya menyasar kriminalitas, tetapi juga mengirim pesan politik: era kompromi dengan kekuatan informal sudah berakhir. Ini strategi yang tidak hanya legal, tapi juga simbolik.

Baca juga:  Prabowo Hanya Seorang Jenderal Ayam Sayur?

Namun, keberhasilan perintah presiden tidak bisa dilepaskan dari kesiapan institusi penegak hukum, terutama Polri. Selama ini, relasi antara polisi dan premanisme sering problematik: ada yang bekerja sama di lapangan, ada yang saling memanfaatkan, ada pula yang sudah terbiasa “berdamai” demi stabilitas. Dengan tekanan dari atas, kepolisian sekarang dihadapkan pada dilema: apakah mereka siap melakukan pembersihan internal dan eksternal secara konsisten, ataukah ini hanya akan berakhir sebagai operasi kosmetik?

Selain itu, peran kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pengawasan seperti Kompolnas juga penting. Jika hanya polisi yang bekerja tanpa dukungan rantai hukum lain, kita hanya akan melihat pembersihan temporer, tanpa efek jangka panjang.

Di sisi lain, ada bahaya laten dari kebijakan ini: jangan sampai pemberantasan premanisme terjebak menjadi populisme kekerasan. Artinya, jangan sampai aparat hanya mengejar target angka (berapa preman ditangkap), tapi melupakan akar persoalan seperti kemiskinan, pengangguran, atau lemahnya akses hukum bagi rakyat kecil. Premanisme tidak muncul begitu saja; ia lahir dari ketimpangan sosial dan kekosongan negara dalam mengatur wilayah-wilayah informal.

Jika negara hanya hadir dalam bentuk kekuatan represif tanpa kebijakan sosial yang adil, maka yang terjadi hanya daur ulang kekerasan: preman lama ditumbangkan, preman baru muncul, dan lingkaran setan kekuasaan informal terus berlanjut.

Agar langkah Prabowo ini tidak berhenti di tengah jalan, ada beberapa agenda penting yang harus dibangun pemerintah:

  1. Pembenahan Tata Kelola Tanah dan Aset Publik. Mafia tanah sering bekerja sama dengan preman lokal. Penataan sertifikasi, audit kepemilikan, dan pembukaan data kepemilikan aset sangat penting.

  2. Revitalisasi Ekonomi Lokal. Banyak premanisme lahir karena wilayah urban penuh pengangguran dan ekonomi informal tanpa perlindungan. Pemerintah perlu masuk dengan kebijakan inklusif, menciptakan lapangan kerja, dan memberdayakan ekonomi kecil.

  3. Reformasi Ormas dan Parpol Lokal. Tidak sedikit kekuatan preman berasal dari ormas atau parpol yang memiliki sayap informal. Regulasi dan pengawasan harus diperkuat agar ormas tidak menjadi alat kekuasaan ilegal.

  4. Penguatan Aparat Penegak Hukum. Tanpa pembersihan internal dan peningkatan profesionalisme, aparat hanya akan menjadi alat sementara yang tidak mampu mengubah sistem.

  5. Edukasi Publik. Masyarakat harus didorong untuk tidak bergantung pada kekuatan preman sebagai “pelindung” atau “penyelesai masalah.” Negara harus hadir sebagai pengayom hukum yang terpercaya.

Instruksi tegas Prabowo dalam pemberantasan premanisme adalah momentum politik penting yang bisa membawa perubahan signifikan. Namun, keberhasilan langkah ini tidak bisa hanya diukur dari berapa banyak preman yang ditangkap, tetapi dari apakah pemerintah mampu mengubah struktur kekuasaan informal yang menopang premanisme itu sendiri.

Prabowo kini berada di persimpangan jalan: apakah ia akan menjadi pemimpin kuat yang berhasil menata ulang sistem penegakan hukum, ataukah hanya menjadi simbol populis yang sesaat bersinar tapi gagal mengubah akar persoalan? Publik menanti, aparat berjibaku, dan sejarah akan mencatat.

Mari kita berharap langkah ini bukan sekadar show of force, tetapi awal dari reformasi hukum dan sosial yang mendalam di Indonesia.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News