Oleh: Untung Nursetiawan, Pemerhati Sosial Kota Pekalongan
Kota Pekalongan Jawa Tengah kini tengah menghadapi situasi darurat lingkungan yang mencerminkan kegagalan tata kelola kota: yess,, krisis sampah..!!. Per tanggal 8 April 2025, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Degayu resmi ditutup dan tidak lagi menerima kiriman sampah dari seluruh penjuru kota. Akibatnya, tumpukan sampah menggunung di berbagai titik pemukiman, pasar, pinggir jalan, bahkan merambah ke sungai-sungai. Bau busuk menyengat, pemandangan kumuh mengganggu kenyamanan, dan yang lebih mengkhawatirkan adalah ancaman kesehatan masyarakat yang terus mengintai.
Alih-alih menyampaikan solusi konkret atau merancang sistem penanganan darurat yang terstruktur, Pemerintah Kota Pekalongan justru mengeluarkan kebijakan setengah hati: menerbitkan keputusan darurat sampah dan menghimbau masyarakat untuk mengelola sampahnya sendiri-sendiri. Sebuah seruan yang terdengar ironis dan menyakitkan, mengingat pengelolaan sampah adalah bagian dari pelayanan publik yang menjadi hak warga dan tanggung jawab penuh pemerintah.
Pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah: bagaimana bisa sebuah kota tidak memiliki rencana cadangan ketika TPA satu-satunya akan ditutup? Apakah Pemerintah Kota tidak menyadari bahwa umur TPA Degayu sudah mendekati batas akhir? Jika ya, mengapa tidak dilakukan mitigasi dari jauh-jauh hari?
Pemerintah daerah seharusnya memiliki roadmap pengelolaan sampah jangka pendek, menengah, dan panjang. Termasuk di dalamnya edukasi pengelolaan sampah berbasis rumah tangga, penyediaan fasilitas pengolahan sampah terpadu di tiap kecamatan, pembangunan sistem bank sampah yang efisien, serta kerja sama dengan pihak swasta untuk teknologi pengolahan sampah modern. Namun, tak satupun langkah tersebut terlihat disiapkan.
Yang lebih mengecewakan, walikota selaku pemegang kebijakan tertinggi justru terlihat tak berkutik. Tidak ada langkah tegas, tidak ada alokasi darurat, bahkan tidak ada upaya mencarikan lahan sementara untuk menampung sampah. Pemerintah kota seolah hanya menonton krisis ini membesar, miris.
Mengelola sampah secara mandiri bukanlah sesuatu yang mustahil. Namun hal ini membutuhkan edukasi, fasilitas, dan dukungan sistemik. Jika masyarakat diminta memilah dan mengolah sampah dari sumbernya, maka mereka perlu tahu bagaimana cara memilah yang benar, bagaimana mengomposkan sampah organik, bagaimana mengelola limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun), serta kemana membawa sampah non-organik yang tidak bisa diolah sendiri.
Sejauh ini tidak ada program edukasi massal, tidak ada pelatihan, tidak ada fasilitas dropbox atau TPS terpilah. Masyarakat dibiarkan menebak-nebak, bereksperimen, atau bahkan memilih jalan pintas dengan membuang sampah ke sungai, membakarnya di halaman, atau menumpuknya di sudut jalan. Hasilnya? Pencemaran udara, kerusakan ekosistem, dan potensi wabah penyakit.
Lebih menyakitkan lagi, masyarakat diminta menanggung semua ini di tengah kewajiban membayar pajak daerah dan retribusi kebersihan. Ini bukan sekadar ironi—tapi ini bentuk pengabaian hak rakyat, gila! ke mana pajak rakyat?
Ingat, pemerintah daerah adalah perpanjangan tangan negara dalam pelayanan publik. Salah satu yang paling mendasar adalah pelayanan kebersihan dan pengelolaan sampah. Pajak daerah dan retribusi sampah dipungut dengan dalih pelayanan, maka wajar jika masyarakat menuntut kejelasan tentang ke mana anggaran tersebut dialirkan.
Jika TPA sudah tidak berfungsi, mengapa tidak segera dialokasikan dana darurat untuk membangun TPS sementara atau membeli teknologi pengolahan sampah portable seperti incinerator skala kecil atau biodigester? Mengapa tidak dilakukan kerja sama dengan daerah sekitar untuk sementara mengalihkan pembuangan?
Pertanyaan ini penting karena menyangkut transparansi anggaran dan akuntabilitas pejabat publik. Warga berhak tahu, dan pemerintah wajib menjawab.
Jika krisis ini dibiarkan berlarut-larut, Pekalongan bisa menghadapi dampak berantai. Mulai dari meningkatnya angka penyakit berbasis lingkungan seperti diare, ISPA, hingga leptospirosis. Kemudian sektor pariwisata dan ekonomi kreatif yang selama ini menjadi andalan kota akan menurun drastis. Siapa yang mau berkunjung ke kota yang bau dan jorok? Investor pun akan berpikir dua kali.
Selain itu, kerusakan lingkungan seperti pencemaran air tanah, sungai yang mati, serta lahan kosong yang berubah menjadi “tempat pembuangan liar” akan menjadi warisan buruk untuk generasi mendatang. Ini bukan lagi sekadar soal estetika kota, tapi soal kelangsungan hidup.
Menyerahkan solusi krisis sampah kepada masyarakat tanpa menyertakan peran pemerintah adalah bentuk kekeliruan struktural. Pemerintah tidak boleh absen dalam urusan pelayanan publik. Dalam situasi darurat, seharusnya dibentuk satuan tugas khusus yang bergerak cepat melakukan inventarisasi titik kritis penumpukan sampah, membuka lokasi penampungan sementara, membentuk sistem relawan lingkungan, dan bekerja sama dengan komunitas lokal serta sektor swasta. Jangan diam saja.
Krisis sampah di kota Pekalongan adalah ujian integritas dan kepemimpinan walikota Pekalongan. Dalam situasi seperti ini, sebagai pemimpin, walikota harus hadir, tunjukan empati, siap bertanggung jawab, dan memberikan arah situasional yang jelas. Bukan hanya sekedar membuat pernyataan normatif atau himbauan kosong. Pemimpin sejati harus bisa mengambil keputusan strategis, membangun kolaborasi, dan memastikan rakyatnya tidak merasa sendirian menghadapi persoalan berat seperti ini.
Walikota dan seluruh jajarannya harus segera turun ke lapangan, melihat langsung kondisi lingkungan, mendengar keluhan warga, dan bekerja bersama dengan warga. Ini bukan soal popularitas, tapi soal kewajiban konstitusional dan moral.
Masyarakat Pekalongan adalah masyarakat yang tangguh. Tak sedikit warga yang kini mulai belajar membuat kompos, memilah sampah, bahkan menginisiasi bank sampah mandiri. Namun, daya tahan masyarakat tidak boleh dijadikan alasan bagi pemerintah untuk lepas tangan dan diam tanpa kata dan tindakan.
Krisis ini bisa menjadi momentum untuk merevolusi sistem pengelolaan sampah di kota Pekalongan. Tapi itu bisa terjadi jika ada komitmen kuat dari pemerintah dalam hal ini walikota. Sudah saatnya Pemkot Pekalongan tidak hanya mengeluarkan kebijakan, tapi juga menunjukkan aksi kepemimpinan yang konkret, karena krisis sampah bukan hanya soal kotoran yang harus dibuang. Sampah adalah soal sistem tata kelola, kesadaran, dan keberpihakan.