Tak Segera Tersangkakan dan Tangkap Fuad Plered, Muslim Arbi: Citra Polisi Buruk

Lambannya penegakan hukum terhadap kasus dugaan penghinaan terhadap tokoh besar Al Khairaat, Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri atau Guru Tua, kembali menuai sorotan tajam. Kali ini datang dari pengamat politik Muslim Arbi yang secara blak-blakan menyebut bahwa citra institusi kepolisian menjadi buruk karena tidak segera menersangkakan dan menangkap sosok Fuad Plered yang telah dilaporkan ke aparat penegak hukum sejak beberapa waktu lalu.

“Kalau kasus sudah terang benderang dan bukti cukup, kenapa tidak segera ditindak? Ini menunjukkan standar ganda dalam penegakan hukum kita. Rakyat bisa menilai sendiri siapa yang dilindungi dan siapa yang dikorbankan,” kata Muslim Arbi dalam keterangannya kepada redaksi www.suaranasional.com, Senin (7/4).

Fuad Plered sebelumnya dilaporkan oleh berbagai kalangan, termasuk dari keluarga besar Al Khairaat dan elemen masyarakat di Sulawesi Tengah, karena pernyataannya yang dianggap menghina dan merendahkan martabat Guru Tua—pendiri Al Khairaat yang sangat dihormati oleh umat Islam di kawasan Indonesia Timur. Video pernyataan Fuad tersebar luas di media sosial dan memicu kemarahan publik, terutama di wilayah Palu dan sekitarnya.

Gelombang desakan kepada kepolisian untuk segera menuntaskan kasus ini tak kunjung reda. Demonstrasi, surat terbuka, hingga kecaman di berbagai platform media terus mengalir. Di tengah kemarahan umat, ketidaktegasan polisi dianggap sebagai bentuk pembiaran terhadap penodaan simbol agama dan tokoh kharismatik yang berjasa besar dalam pendidikan Islam.

Muslim Arbi pun menambahkan, “Kalau polisi tegas terhadap kasus penghinaan tokoh agama lain, kenapa tidak bisa cepat dalam kasus ini? Jangan sampai masyarakat menilai bahwa hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.”

Ia mengingatkan bahwa keadilan selektif adalah racun bagi negara hukum. Menurutnya, jika aparat penegak hukum tidak segera menersangkakan dan menahan Fuad, maka ini akan menimbulkan preseden buruk dan memperkuat kecurigaan bahwa hukum telah dipolitisasi atau dibajak oleh kekuatan-kekuatan tertentu.

Muslim menyatakan bahwa kasus ini bisa menjadi uji litmus bagi netralitas dan integritas Polri dalam menangani kasus berbau SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Ia menyebutkan bahwa meskipun kepolisian harus berhati-hati dalam kasus sensitif, terlalu lama menunda proses hukum bisa menggerus legitimasi institusi itu sendiri.

“Polri saat ini berada di bawah sorotan tajam. Bila dalam waktu dekat tidak ada langkah hukum yang jelas terhadap Fuad Plered, maka publik akan menganggap polisi bermain politik atau tunduk pada tekanan kekuasaan,” ujarnya.

Menurut Muslim, penundaan juga membuka ruang bagi spekulasi liar, konspirasi, bahkan potensi kerusuhan sosial. Ia menyarankan agar penyidik bersikap profesional dan terbuka dalam menjelaskan perkembangan penanganan kasus ini kepada masyarakat.

Kasus Fuad Plered telah menjadi ujian serius bagi institusi Polri. Sorotan tajam publik dan tekanan dari berbagai ormas Islam telah membentuk opini bahwa ada ketimpangan dalam perlakuan hukum terhadap pihak-pihak tertentu. Dalam konteks ini, suara Muslim Arbi menjadi refleksi keresahan yang lebih luas dari masyarakat: keadilan tidak boleh ditunda, apalagi untuk kasus yang menyangkut kehormatan tokoh besar dan simbol agama.

“Apakah Polri akan tegas dan cepat? Ataukah kasus ini akan menguap seperti banyak perkara lain yang menimpa tokoh-tokoh yang dianggap dekat dengan kekuasaan? Jawabannya akan menentukan bukan hanya nasib Fuad Plered, tetapi juga kepercayaan publik terhadap wajah keadilan di negeri ini,” tegasnya.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News