Di tengah dinamika politik nasional, Ketua Umum PPJNA 98, Anto Kusumayuda, mengungkap adanya operasi politik yang bertujuan mendiskreditkan Presiden Prabowo Subianto. Operasi ini, menurutnya, dirancang untuk membangun opini bahwa Prabowo bersikap anti-demokrasi dan berupaya membungkam kebebasan pers.
“Prabowo adalah sosok yang menjunjung tinggi demokrasi. Dia selalu mengikuti proses pemilihan yang sah, bukan sosok yang mengabaikan konstitusi. Sejak 2004 hingga 2024, ia berkali-kali mengikuti Pilpres, yang artinya ia menghormati mekanisme demokrasi,” kata Anto dalam pernyataannya kepada redaksi www.suaranasional.com, Senin (25/3).
Sejak era reformasi, Prabowo kerap dikaitkan dengan berbagai tuduhan terkait otoritarianisme, sebagian besar merujuk pada latar belakang militernya. Namun, jika melihat rekam jejak politiknya, Prabowo justru menunjukkan konsistensi dalam mengikuti mekanisme demokrasi.
Sejak 2004, Prabowo telah tiga kali mencalonkan diri sebagai presiden dan satu kali sebagai calon wakil presiden. Semua langkah politiknya dilakukan dalam kerangka konstitusional, mengikuti aturan main yang ditetapkan oleh sistem demokrasi Indonesia.
Selain itu, Prabowo juga pernah menjadi bagian dari pemerintahan Joko Widodo sebagai Menteri Pertahanan (2019–2024), menunjukkan kemampuannya dalam berkompromi dengan sistem yang ada. Hal ini berbeda dengan sosok yang benar-benar anti-demokrasi, yang cenderung menolak sistem yang ada dan mengambil jalur kekerasan atau kudeta.
“Prabowo itu didikan Barat, ia sangat menghormati kebebasan berpendapat. Kritik keras kepadanya tidak pernah dibungkam,” tambah Anto.
Salah satu kejadian yang mencuat dalam narasi anti-demokrasi ini adalah teror terhadap kantor Tempo. Anto menduga bahwa kejadian ini bukan sekadar aksi spontan, melainkan bagian dari operasi politik yang lebih luas untuk menyudutkan Prabowo.
Menurutnya, pola yang dimainkan adalah menciptakan insiden yang bisa dikaitkan dengan pemerintah, kemudian membangun narasi bahwa rezim Prabowo ingin membungkam pers.
Namun, jika melihat kebijakan Prabowo sebelumnya, tidak ada indikasi bahwa ia ingin membatasi kebebasan media. Justru, selama menjabat sebagai Menteri Pertahanan, ia cukup terbuka dengan wartawan dan sering merespons berbagai kritik yang dialamatkan kepadanya.
Selain kasus Tempo, Anto juga mengamati bahwa operasi politik ini bergerak di sektor lain, salah satunya adalah demonstrasi yang menolak UU TNI.
Demo-demo yang berujung pada tindakan anarkis, menurut Anto, memiliki pola yang sama dengan berbagai gerakan politik di masa lalu yang bertujuan menggoyang pemerintahan yang baru terbentuk.
“Narasi yang ingin dibangun adalah pemerintahan Prabowo itu otoriter. Seakan-akan Prabowo ingin mengontrol TNI untuk kepentingan kekuasaan pribadinya,” ujar Anto.
Padahal, dalam beberapa pernyataannya, Prabowo menegaskan bahwa kebijakan pertahanan dan keamanan selalu berada dalam koridor demokrasi. Ia juga berkali-kali menyatakan pentingnya supremasi sipil dalam tata kelola pertahanan negara.
Jika dilihat dari konteks politik saat ini, ada beberapa kemungkinan aktor yang berada di balik operasi politik ini:
Pertama, Kelompok Oposisi yang Belum Move On. Pemerintahan Prabowo baru akan berjalan penuh setelah pelantikan Oktober nanti. Namun, sejak Pemilu 2024 selesai, beberapa kelompok yang merasa dirugikan mulai membangun narasi perlawanan. Tuduhan anti-demokrasi dan otoritarianisme bisa menjadi alat politik yang efektif untuk membangun oposisi lebih kuat sejak dini.
“Kedua, Kelompok yang Tak Ingin Prabowo Sukses. Setiap pemerintahan selalu memiliki lawan politik, baik di dalam maupun di luar lingkaran kekuasaan. Ada kelompok yang tidak menginginkan Prabowo sukses memimpin, karena keberhasilannya bisa mengganggu kepentingan politik mereka di 2029,” ungkapnya.
Ketiga, Kepentingan Asing. Isu demokrasi dan kebebasan pers sering menjadi alat intervensi kekuatan asing dalam politik domestik suatu negara. Jika ada narasi yang dimainkan secara sistematis dan terstruktur, bukan tidak mungkin ada kepentingan asing yang ikut bermain dalam membentuk opini negatif terhadap pemerintahan Prabowo.
Sebagai presiden terpilih, Prabowo menghadapi tantangan besar dalam menjaga stabilitas politik nasional. Narasi yang menyudutkannya sebagai anti-demokrasi dan pembungkam kebebasan pers bisa menjadi batu sandungan di awal pemerintahannya.
“Yang jelas, operasi politik ini tidak akan berhenti di sini. Ke depan, Prabowo dan timnya harus siap menghadapi berbagai narasi lain yang akan dimainkan untuk melemahkan pemerintahannya sebelum benar-benar bekerja penuh,” pungkas Anto.