Oleh: Menuk Wulandari, Aktivis Aliansi Rakyat Menggugat (ARM)
Fajar menyingsing di sebuah desa kecil di Banten. Suara azan Subuh berkumandang, menandakan dimulainya hari pertama puasa. Di sebuah surau sederhana, seorang lelaki tua bernama Haji Karim menundukkan kepala dalam doa panjang. Di sekelilingnya, para pemuda desa duduk bersila, menunggu wejangan dari sesepuh mereka.
“Puasa bukan hanya menahan lapar dan haus,” ujar Haji Karim dengan suara bergetar. “Ia adalah bentuk perlawanan. Kita menahan diri dari ketidakadilan, kita menolak tunduk pada kezaliman.”
Kata-kata itu menggema di hati para pemuda. Mereka tidak hanya berpuasa untuk beribadah, tetapi juga untuk melawan ketidakadilan yang telah lama menindas desa mereka.
Banten memiliki sejarah panjang tentang perlawanan terhadap penindasan. Dari era kolonial hingga zaman modern, rakyatnya selalu dikenal sebagai pejuang yang tidak mudah tunduk. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, bentuk kezaliman berubah. Bukan lagi penjajah asing yang mencengkeram rakyat, tetapi para pemilik modal yang menindas atas nama pembangunan.
Sebut saja seorang taipan besar yang memiliki banyak aset di Banten. Dengan kekayaannya, ia menguasai lahan, merampas hak-hak petani, dan menguasai kebijakan daerah melalui jalur politik. Warga desa kehilangan tanahnya, sawah mereka berubah menjadi pabrik-pabrik besar, dan akses ke laut semakin terbatas karena proyek reklamasi.
“Kami dipaksa pindah tanpa ada kompensasi yang layak,” keluh seorang nelayan, Pak Rahmat. “Dulu kami bisa melaut dengan bebas, sekarang pantai penuh dengan bangunan dan pelabuhan pribadi.”
Di tengah tekanan ini, rakyat Banten mencari cara untuk bertahan. Dan ketika bulan Ramadhan tiba, mereka menemukan kekuatan baru dalam ibadah puasa.
Sejak dahulu, puasa telah menjadi sarana spiritual untuk menguatkan diri dalam menghadapi cobaan. Dalam sejarah Islam, banyak kemenangan besar terjadi saat kaum Muslim berpuasa—mulai dari Perang Badar hingga perjuangan para ulama melawan penjajah.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Bagi warga Banten, puasa menjadi bentuk protes senyap terhadap ketidakadilan. Mereka mungkin tidak memiliki modal besar atau kuasa politik, tetapi mereka memiliki iman dan keteguhan hati. Dengan berpuasa, mereka meneguhkan tekad untuk bertahan dan tidak menyerah pada tekanan ekonomi maupun intimidasi.
Di beberapa desa, warga secara kolektif menolak menjual tanah mereka kepada para pemodal besar. Mereka berkumpul di masjid untuk berbuka puasa bersama, membangun solidaritas, dan merencanakan strategi bertahan. Para ulama setempat mulai mengisi ceramah dengan pesan-pesan perjuangan: tentang pentingnya menjaga tanah warisan leluhur dan tidak tunduk pada keserakahan kapitalis.
Puasa bukan hanya menahan diri, tetapi juga membentuk karakter yang lebih sabar dan teguh dalam menghadapi tantangan. Dari ketakwaan inilah lahir aksi nyata.
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika ia tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)
Di berbagai daerah di Banten, warga mulai berinisiatif membuat koperasi tani untuk menjaga keberlanjutan pertanian mereka. Mereka mengorganisir pasar rakyat agar petani tidak lagi tergantung pada tengkulak. Para pemuda mulai membuat dokumentasi tentang bagaimana tanah mereka direbut secara paksa, lalu menyebarkannya ke media sosial untuk mendapatkan dukungan luas.
Mereka sadar bahwa perjuangan ini tidak mudah. Kekuasaan dan modal yang mereka hadapi terlalu besar. Namun, mereka percaya bahwa kebenaran dan keadilan akan selalu menemukan jalannya. Puasa mengajarkan mereka untuk bersabar, untuk tidak menyerah, dan untuk terus berjuang dengan cara yang bermartabat.
Ketika bulan Ramadhan berakhir dan gema takbir menggema, warga desa tidak hanya merayakan Idul Fitri, tetapi juga merayakan kemenangan kecil mereka dalam melawan kezaliman. Mereka masih menghadapi tantangan besar, tetapi kini mereka lebih kuat dan lebih bersatu.
Banten telah berkali-kali menunjukkan bahwa rakyatnya tidak akan tunduk begitu saja. Dan di bulan suci ini, mereka kembali membuktikan bahwa puasa bukan hanya ibadah, tetapi juga senjata spiritual dalam memperjuangkan keadilan.
Seperti yang dikatakan Haji Karim di akhir ceramahnya, “Kemenangan sejati bukan hanya saat kita berbuka puasa setelah menahan lapar dan haus. Kemenangan sejati adalah ketika kita berhasil menahan diri dari tunduk pada kezaliman, dan berjuang untuk hak kita dengan penuh ketakwaan.” Dan itulah hakikat puasa yang sesungguhnya.