Indonesia Gelap, Perampasan Tanah di Banten oleh Aguan

Oleh: Menuk Wulandari, Aktivis Aliansi Rakyat Menggugat (ARM)

Dalam beberapa bulan terakhir, masyarakat Banten kembali diguncang oleh kasus perampasan tanah yang melibatkan taipan properti, Sugianto Kusuma alias Aguan. Kasus ini semakin menarik perhatian publik bukan hanya karena besarnya skala perampasan yang terjadi, tetapi juga karena sikap diam pemerintah, khususnya Presiden Prabowo Subianto. Padahal, dalam kampanyenya, Prabowo selalu menggaungkan keberpihakannya kepada rakyat kecil dan petani. Sayangnya, realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya.

Kasus perampasan tanah oleh korporasi bukanlah hal baru di Indonesia. Namun, yang terjadi di Banten ini sangat mencolok karena melibatkan kelompok masyarakat adat dan petani kecil yang telah bertahun-tahun menggarap lahan tersebut. Proses perampasan ini diduga dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari penggusuran paksa, pemalsuan dokumen kepemilikan tanah, hingga keterlibatan aparat keamanan dalam upaya intimidasi terhadap warga yang menolak menyerahkan tanah mereka.

Aguan, yang dikenal sebagai salah satu pengusaha properti terbesar di Indonesia, diduga menggunakan jaringannya yang luas untuk mendapatkan akses terhadap lahan strategis di Banten. Tanah-tanah yang sebelumnya menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat kecil kini berubah menjadi proyek properti mewah, tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan.

Ketika kampanye Pilpres 2024, Prabowo berulang kali menegaskan komitmennya untuk melindungi kepentingan rakyat kecil, termasuk petani dan nelayan. Bahkan, ia berjanji akan membangun sistem agraria yang adil dan berpihak pada rakyat. Namun, ketika kasus ini mencuat, Prabowo tampak bungkam dan tidak menunjukkan tanda-tanda keberpihakan kepada rakyat yang tertindas.

Sikap diam ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah pemerintahannya benar-benar berpihak pada rakyat kecil, atau justru tunduk pada kepentingan para oligarki? Perampasan tanah di Banten bukan hanya mencerminkan ketimpangan kekuasaan antara rakyat dan pemodal, tetapi juga membuktikan bahwa regulasi agraria di Indonesia masih sangat lemah dalam melindungi hak-hak masyarakat kecil.

Perampasan tanah di Banten telah membawa dampak yang luas, baik secara sosial maupun ekonomi. Ribuan warga kehilangan tempat tinggal dan sumber mata pencaharian mereka. Banyak petani yang terpaksa menjadi buruh di tanah yang dulunya mereka miliki, dengan upah rendah dan tanpa jaminan kesejahteraan. Ini adalah bentuk penjajahan modern yang dilegalkan oleh sistem yang korup dan tidak berpihak pada rakyat.

Selain itu, konflik agraria yang dibiarkan tanpa penyelesaian hanya akan memperburuk ketimpangan ekonomi di Indonesia. Ketika lahan-lahan subur terus diambil alih oleh korporasi untuk kepentingan bisnis properti dan industri, maka semakin sedikit ruang bagi petani untuk bertahan hidup. Akibatnya, ketahanan pangan nasional pun terancam karena semakin banyak petani yang kehilangan lahannya dan beralih profesi ke sektor lain yang belum tentu menjamin kesejahteraan mereka.

Negara seharusnya menjadi pelindung rakyatnya, bukan justru memfasilitasi perampasan tanah oleh kelompok elite bisnis. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Lemahnya regulasi dan kurangnya keberanian pemerintah dalam menghadapi kelompok pemodal seperti Aguan menunjukkan bahwa kekuasaan di negeri ini masih berada di tangan segelintir orang.

Prabowo, sebagai pemimpin negara, seharusnya turun tangan dan memberikan solusi atas kasus ini. Jika benar ia memiliki visi besar untuk menyejahterakan rakyat, maka sudah seharusnya ia menghentikan praktik perampasan tanah yang merugikan masyarakat kecil. Namun, jika ia terus diam dan membiarkan kasus ini berlarut-larut, maka ini menjadi bukti bahwa janji-janji kampanye hanyalah omong kosong belaka.

Untuk mengatasi masalah perampasan tanah seperti yang terjadi di Banten, diperlukan langkah-langkah konkret dari pemerintah. Beberapa solusi yang bisa diterapkan antara lain:

  1. Meninjau ulang kebijakan agraria dan memastikan bahwa tanah-tanah yang menjadi sumber penghidupan masyarakat tidak dengan mudah diambil alih oleh korporasi.
  2. Memberikan sanksi tegas kepada pelaku perampasan tanah, termasuk pengusaha dan pejabat yang terlibat dalam praktik ilegal ini.
  3. Menguatkan perlindungan hukum bagi petani dan masyarakat adat, sehingga mereka memiliki kepastian hukum atas tanah yang mereka garap.
  4. Mendorong transparansi dalam setiap proses pengadaan lahan, agar tidak ada lagi kasus manipulasi dokumen dan penggusuran paksa yang merugikan masyarakat kecil.

Jika langkah-langkah ini tidak segera diambil, maka bukan tidak mungkin kasus serupa akan terus terjadi di berbagai daerah lainnya. Rakyat yang kehilangan tanahnya akan semakin terpinggirkan, sementara para pemodal semakin leluasa menguasai sumber daya yang seharusnya menjadi hak bersama.

Indonesia sedang berada dalam kegelapan jika praktik perampasan tanah terus dibiarkan tanpa penyelesaian. Prabowo, sebagai presiden, memiliki tanggung jawab besar untuk menghentikan ketidakadilan ini. Jika ia terus diam, maka rakyat berhak mempertanyakan keberpihakannya: apakah ia benar-benar pemimpin untuk rakyat, atau hanya boneka oligarki?

Saat ini, mata masyarakat tertuju pada bagaimana pemerintah menangani kasus perampasan tanah di Banten. Jika Prabowo ingin membuktikan bahwa ia adalah pemimpin yang tegas dan berkomitmen pada kesejahteraan rakyat, maka ia harus segera bertindak. Rakyat tidak butuh retorika kosong, tetapi aksi nyata yang menunjukkan bahwa negara ini masih memiliki keadilan bagi semua, bukan hanya untuk segelintir orang yang memiliki kekuasaan dan uang.

Jika Indonesia terus membiarkan praktik ini terjadi, maka kita sedang berjalan menuju era di mana tanah bukan lagi milik rakyat, tetapi milik para oligarki yang menguasai negara dengan modal dan koneksi. Ini bukan hanya persoalan Banten, tetapi persoalan seluruh rakyat Indonesia.

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News