Puasa, Toa Masjid, dan Toleransi

Oleh: Rokhmat Widodo, SMK Luqmanul Hakim Kudus,  Kader Muhammadiyah Kudus

Malam itu, suara lantunan ayat-ayat suci menggema dari toa masjid di sudut kampung. Hasan, seorang pria paruh baya yang telah tinggal di lingkungan itu selama 30 tahun, tersenyum mendengarnya. Baginya, suara tadarus adalah nostalgia yang mengingatkannya pada masa kecil, saat ia belajar mengaji bersama teman-temannya di surau kecil. Namun, di rumah sebelah, Lina, seorang guru yang bukan Muslim, terbangun dari tidurnya. Ia menghela napas panjang, bukan karena ia membenci agama tetangganya, tetapi karena suaranya terlalu keras hingga mengganggu istirahatnya setelah seharian bekerja.

Setiap bulan Ramadan tiba, suasana religius semakin kental di berbagai daerah di Indonesia. Umat Muslim menjalankan ibadah puasa, dan berbagai tradisi turut mengiringinya. Salah satu yang kerap menjadi perdebatan adalah penggunaan toa masjid, terutama untuk tadarus Al-Qur’an atau pengajian yang berlangsung hingga larut malam. Fenomena ini tidak jarang menimbulkan keluhan dari masyarakat sekitar, terutama dari kalangan non-Muslim atau bahkan Muslim sendiri yang merasa terganggu dengan volume suara yang terlalu keras.

Masalah ini menggugah diskusi lebih luas tentang batas toleransi dalam kehidupan beragama. Di satu sisi, kebebasan beribadah adalah hak fundamental yang harus dihormati. Namun, di sisi lain, praktik ibadah tidak boleh mengabaikan hak-hak orang lain untuk mendapatkan ketenangan dan kenyamanan di lingkungan mereka.

Toa Masjid: Simbol Syiar atau Gangguan?

Dalam konteks Islam, suara azan melalui pengeras suara masjid adalah bagian dari syiar agama yang telah menjadi tradisi selama berabad-abad. Azan berfungsi sebagai panggilan ibadah bagi umat Muslim, yang secara umum diterima sebagai bagian dari kehidupan sosial masyarakat. Namun, penggunaan pengeras suara tidak terbatas hanya untuk azan. Di banyak tempat, terutama di bulan Ramadan, masjid menggunakan toa untuk menyiarkan tadarus Al-Qur’an, ceramah, hingga shalawat yang berlangsung dalam durasi panjang.

Dari perspektif pendukung, mereka berargumen bahwa penggunaan toa masjid adalah bentuk dakwah dan penguatan nilai-nilai Islam di tengah masyarakat. Apalagi, bagi banyak komunitas Muslim, mendengar bacaan Al-Qur’an memberikan ketenangan dan menjadi pengingat untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah.

Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa bagi sebagian warga, terutama yang berbeda keyakinan atau yang membutuhkan ketenangan pada malam hari, suara toa yang terlalu keras justru menjadi gangguan. Di daerah perkotaan yang padat penduduk, suara bising dari pengeras suara bisa menjadi sumber ketidaknyamanan, mengganggu tidur, konsentrasi belajar, atau bahkan aktivitas kerja.

Toleransi dalam Dua Arah

Toleransi sering kali dipahami secara sempit sebagai kewajiban kelompok minoritas untuk menerima dominasi budaya mayoritas. Namun, dalam masyarakat yang beradab, toleransi seharusnya berjalan dua arah: kelompok mayoritas juga memiliki kewajiban untuk memahami dan menghormati kebutuhan kelompok lain.

Dalam kasus toa masjid, umat Islam perlu menyadari bahwa hidup berdampingan dengan masyarakat yang beragam membutuhkan sikap saling menghargai. Rasulullah SAW sendiri dalam berbagai riwayat mencontohkan bagaimana beliau menghormati hak-hak orang lain, bahkan terhadap non-Muslim. Islam mengajarkan adab dalam berbicara, termasuk soal volume suara. Dalam Al-Qur’an, Surah Luqman ayat 19, Allah berfirman: “Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai.” Ayat ini menjadi pengingat bahwa mengatur suara adalah bagian dari akhlak mulia.

Sebaliknya, kelompok non-Muslim atau mereka yang merasa terganggu juga perlu memahami bahwa bulan Ramadan adalah waktu spesial bagi umat Islam. Seperti halnya perayaan agama lain yang memiliki tradisi tertentu, Ramadan juga membawa nuansa keagamaan yang lebih kuat. Toleransi juga berarti menghormati dan tidak mudah merasa terganggu oleh ekspresi keagamaan orang lain, selama masih dalam batas yang wajar.

Mencari Jalan Tengah: Regulasi dan Kesadaran Sosial

Untuk mengatasi perdebatan ini, diperlukan kesadaran kolektif dari masyarakat serta kebijakan yang adil dan tidak diskriminatif. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:

  1. Pembatasan Volume dan Durasi Penggunaan Toa Pemerintah melalui Kementerian Agama sudah mengeluarkan aturan terkait penggunaan pengeras suara masjid, yang mengatur agar suara tidak mengganggu ketertiban umum. Masjid-masjid perlu menaati regulasi ini dengan mengatur volume pengeras suara, terutama pada malam hari.
  2. Pemisahan Toa dalam dan Luar Azan tetap disiarkan menggunakan pengeras suara luar sebagai panggilan ibadah. Namun, untuk tadarus dan ceramah bisa diarahkan ke pengeras suara dalam masjid agar lebih terbatas pada jemaah yang hadir langsung.
  3. Dialog dan Kesepakatan di Tingkat Masyarakat Masyarakat setempat, baik Muslim maupun non-Muslim, dapat melakukan musyawarah untuk mencapai kesepakatan bersama mengenai waktu dan volume toa. Pendekatan berbasis komunitas ini sering kali lebih efektif dibandingkan kebijakan yang bersifat top-down.
  4. Edukasi tentang Etika Keagamaan Para tokoh agama perlu memberikan edukasi bahwa ibadah tidak hanya tentang ritual, tetapi juga bagaimana menjaga hubungan baik dengan sesama manusia. Islam menekankan pentingnya ihsan (berbuat baik) dalam kehidupan bermasyarakat.

Puasa, toa masjid, dan toleransi adalah bagian dari dinamika kehidupan beragama yang perlu dikelola dengan bijaksana. Kebebasan beribadah harus tetap dijaga, tetapi dengan tetap memperhatikan kenyamanan bersama. Masyarakat yang ideal bukanlah yang hanya membiarkan dominasi satu kelompok atas kelompok lain, tetapi yang mampu mencari keseimbangan dalam keberagaman. Dengan memahami esensi toleransi yang sejati, kita bisa menciptakan lingkungan yang harmonis tanpa perlu mengorbankan nilai-nilai keagamaan maupun hak individu lainnya.

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News