Rakyat Banten jangan disalahkan jika terjadi amuk massa menolak Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 karena sudah diingatkan melalui jalur konstitusi maupun demonstrasi damai agar proyek milik Agung Sedayu Group milik Sugianto Kusuma (Aguan) dihentikan.
“Pemerintahan Prabowo harus mendengar suara rakyat Banten yang menolak PIK 2. Ini persoalan yang sangat sensitif. Jangan salahkan rakyat Banten jika terjadi amuk massa,” kata Aktivis Aliansi Rakyat Menggugat (ARM) Menuk Wulandari kepada redaksi www.suaranasional.com, Jumat (21/2/2025).
Dalam banyak kasus konflik pembangunan, pemerintah sering kali lebih berpihak pada investor daripada masyarakat. Perizinan yang diberikan tanpa keterlibatan publik, penggusuran paksa tanpa solusi yang manusiawi, hingga tindakan represif aparat terhadap protes warga adalah pola yang terus berulang. Jika hal ini juga terjadi di Banten, maka bukan rakyat yang patut disalahkan apabila mereka marah.
“Amuk massa bukanlah fenomena yang terjadi begitu saja. Ia adalah akumulasi dari kekecewaan yang terus dipendam, hingga akhirnya meledak karena tidak ada jalan lain untuk menyuarakan ketidakadilan. Ketika dialog tidak ada, hak-hak rakyat diabaikan, dan suara mereka tak didengar, maka reaksi keras menjadi sebuah keniscayaan,” tegasnya.
Menurut Menuk, PIK 2 adalah proyek reklamasi besar yang diperuntukkan bagi segmen ekonomi atas, dengan pembangunan hunian mewah, pusat bisnis, dan infrastruktur eksklusif. Namun, bagaimana nasib masyarakat sekitar yang bergantung pada wilayah pesisir? Nelayan dan petani tambak, misalnya, sering kali kehilangan akses terhadap sumber penghidupan mereka akibat proyek seperti ini. Tanah yang sebelumnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat kini berubah menjadi wilayah privat yang tak bisa diakses sembarangan.
“Di banyak kasus serupa, penggusuran paksa, pembebasan lahan yang tidak adil, dan ketidakjelasan kompensasi sering kali menjadi pemicu konflik. Jika kondisi ini terjadi di Banten, bukan tidak mungkin akan muncul perlawanan dari warga yang merasa hak-hak mereka dirampas,” paparnya.
Kata Menuk, PIK 2 dirancang sebagai kawasan elite yang memanjakan kelompok masyarakat kelas atas. Sementara itu, mayoritas warga Banten yang berada di sekitar proyek tersebut belum tentu merasakan manfaat langsung dari pembangunan tersebut. Sebagian besar pekerjaan yang tersedia cenderung bersifat marjinal, seperti buruh konstruksi atau pekerja rumah tangga, yang tidak menjamin kesejahteraan jangka panjang.
“Ketika warga setempat hanya menjadi penonton di tanah mereka sendiri tanpa mendapatkan keuntungan yang sepadan, perasaan ketidakadilan bisa membesar. Ini semakin memperparah ketimpangan sosial antara mereka yang menikmati hasil pembangunan dan mereka yang justru kehilangan hak-haknya,” tegasnya.
Proyek reklamasi seperti PIK 2 tidak bisa dilepaskan dari dampak lingkungan yang serius. Reklamasi mengubah pola arus air laut, menyebabkan abrasi di daerah lain, serta mengancam ekosistem laut yang menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat pesisir.
“Selain itu, perubahan tata ruang yang masif dapat memperburuk risiko bencana ekologis seperti banjir rob, yang semakin sering terjadi di pesisir utara Jawa. Jika warga mengalami dampak buruk akibat reklamasi tetapi tidak mendapatkan solusi atau kompensasi yang memadai, kemarahan bisa berubah menjadi aksi protes besar-besaran,” paparnya