Oleh: Sutrisno Bachir
Anak ayam mati di lumbung padi. Demikianlah peribahasa yang pas untuk menggambarkan keadaan bangsa ini. Alam yang sedemikian makmurnya ini telah menyediakan segala rupa kebutuhan rakyatnya apabila bangsa ini mampu mengelolanya. Tak hanya kebutuhan pokoknya saja, seperti; pangan, sandang, dan papan tapi juga kebutuhan yang lebih tinggi seperti penyediaan sarana kesehatan, pendidikan yang lebih baik, serta jaminan hidup yang sejahtera.
Namun rupanya bangsa ini tidak atau belum mampu mengelola kekayaan bumi Indonesia yang berlimpah ini menjadi kekayaan yang bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Para pejabat, politisi, bahkan agamawan lebih senang mengurusi dirinya dan posisinya serta asyik berada di menara gading, membincangkan kemiskinan rakyatnya di hotel-hotel berbintang yang biaya penyelenggaraannya saja mampu buat membeli beras untuk masyarakat satu kampung.
Kenapa masyarakat saat ini masih ada yang makan nasi aking yang seharusnya diberikan pada bebek?. Kenapa angka balita yang kekurangan gizi atau gizi buruk (sebenarnya masih lebih tepat menggunakan istilah kelaparan daripada gizi buruk) juga meningkat. Tak hanya di luar Jawa, di beberapa daerah di Pulau Jawapun banyak ditemukan masyarakat yang mengidap gizi buruk, Ironisnya, pada waktu bersamaan pembangunan pusat-pusat perbelanjaan di kota-kota besar (dan sekarang menular di daerah-daerah) sedemikian pesatnya.
bahkan lebih cepat dari usia kandungan manusia. Apakah pembangunan ini sudah tepat? Apakah masyarakat makin makmur? Anda sendirilah yang tahu jawabannya.
Kasihan bangsa ini, masyarakat terlalu sering dicekoki dengan istilah-istilah yang maknanya justru sebaliknya. Alih-alih pembangunan, yang ada malah kemiskinan. Malangnya lagi penyakit konsumerisme juga menjangkit akut di masyarakat yang menyebabkan makin turunnya kualitas hidup dan harkat bangsa. Lalu bagaimana untuk mengatasi keadaan ini? Solusinya sederhana, kembali menjalankan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal yang telah lama ada di masyarakat dan sudah terbukti mampu mengatasi kesulitan tersebut.
Banyak nilai-nilai luhur yang apabila kita jalankan, insya Allah dapat mengurangi beban masyarakat yang makin berat. Untuk mengatasi kelaparan (gizi buruk) pada bayi, ASI bisa menjadi solusinya. Kampanye tentang penggunaan ASI harus betul-betul digalakkan untuk memberikan kesadaran pada masyarakat. Kalau perlu diwajibkan di seluruh rumah sakit bersalin. Sehingga, minimal sampai dua tahun bayi relatif aman perkembangan dan pertumbuhannya bila mengonsumsi ASI walaupun masih perlu makanan tambahan. Untuk memenuhi gizi ibunya, bisa diatasi dengan hal sederhana seperti menanam sayuran-sayuran di sekitar halaman rumahnya. Kalau tidak punya halaman, bisa menggunakan barang bekas sebagai pot sayuran. Sekalian menjaga lingkungan dengan mengolah sampah menjadi pupuk kompos sebagai media tanam dan memanfaatkan barang bekas. Sementara untuk bapaknya mengalihkan pengeluaran yang kurang bermanfaat (seperti merokok) untuk membeli lauk pauk yang bisa dikonsumsi sekeluarga.
Apakah dengan program ini serta merta kemiskinan akan hilang? Tentunya tidak, namun apabila ini menjadi gerakan dan budaya seluruh masyarakat untuk hidup mandiri memenuhi kebutuhannya sendiri dan mengurangi konsumsi yang tak perlu, setidaknya akan mengurangi beban masyarakat. Dan hal itu akan berhasil bila pemimpin, pejabat, dan politisi ikut memberi contoh dan menjalankan gaya hidup ini. Gaya hidup sederhana dan mandiri.