Plintat Plintut Pagar Laut, Kejahatan Aguan (PIK-2) tidak akan Diusut?

Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H, Advokat, Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat (TA-MOR-PTR)

Saat penulis menjadi salah satu Narsum di dialog Sindo Prime (Selasa, 11/2), Rofi’i Muchlis begitu geram ketika Penulis pertanyakan kedudukannya dalam dialog. Karena meskipun dia mengatasnamakan Ketua Barisan Kesatria Nusantara (BKN), tapi dalam dialog dia seperti mewakili Aguan. Tak Terima, kasus pagar laut dikaitkan dengan Aguan, PIK-2 dan Agung Sedayu Group (ASG).

Saking jengkelnya, Rofi’i Muchlis sempat mengatakan: “Kalau saya membela AGUAN, memangnya kenapa?” ungkapnya dengan nada ketus.

Sebenarnya, penulis sendiri tak mengapa dengan posisi Rofi’i Muchlis yang membela Aguan. Karena Al Haq dan Al Batil, itu karakternya juga memiliki pengikut dan pembelanya masing-masing.

Hanya saja, hal itu tidak ditegaskan oleh Rofi’i. Dia berlindung dibalik nama ‘Barisan Kstaria Nusantara’, yang seolah-olah tak memiliki kepentingan dengan PIK-2 dan AGUAN. Tapi dalam pernyataannya sering bertentangan.

Ambil contoh, ketika dia menawarkan kepada penulis untuk bertemu dengan PIK-2, untuk memediasi temuan perampasan tanah berupa sawah dan tambak, untuk dikomunikasikan dengan PIK-2. Sontak, penulis tolak. Ketika Penulis tanya apa legal standing Rofi’i Muchlis sehingga merasa punya kewenangan mempertemukan dengan PIK-2? Dia bungkam. Lalu, penulis menolak tegas dan menyatakan meladeni tawaran Rofi’i Muchlis hanya buang-buang waktu.

Sebaiknya memang Rofi’i Muchlis ke depannya terbuka saja, bahwa dia mewakili Barisan Ksatria Aguan (BKA). Tak perlu nyaru istilah ‘Nusantara’ untuk kepentingan membela AGUAN dan PIK-2.

Adapun terkait dialog Prime Time dengan SindoNews dengan tema “Pagar Laut Diusut, Siapa Tersangkut”, penulis sampaikan paparan sebagai berikut:

Pertama, apa yang dilakukan oleh Bareskrim Polri dengan menggeledah dan memeriksa Arsin Kades Kohod, tak ada kaitannya dengan pagar laut. Arsin diperiksa terkait dugaan tindak pidana pemalsuan sertifikat laut. Pemeriksaan ini, mengkonfirmasi prediksi penulis sebelumnya bahwa kasus pagar laut akan dilokalisir hanya di Desa Kohod, dan ‘menumbalkan’ Arsin Kades Kohod.

Penyelidikan Bareskrim Polri ini tidak sistematis. Meloncat pada substansi yang sebenarnya bukan asas, melainkan kejahatan lanjutan.

Kehebohan masyarakat itu bermula dengan adanya pagar laut sepanjang 30,16 KM di sepanjang garis pantai perairan laut Tangerang. Pagar itu meliputi 16 Desa di 6 Kecamatan di Kabupaten Tangerang, yaitu:

  1. Kec. Teluk Naga (Tj. Pasir, Tj. Burung)
  2. Kec. Pakuhaji (Kohod, Sukahati, Kramat)
  3. Kec. Sukadiri (Karang Serang)
  4. Kec. Kemiri (Karang Anyar, Patramanggala, Lontar)
  5. Kec. Mauk (Ketapang, Tj. Anom, Marga Mulya, Mauk Barat)
  6. Kec. Kronjo (Munjung, Kronjo, Pagedangan Ilir)

Dan sampai hari ini, belum ada satupun yang diperiksa terkait pagar laut. Apalagi ditetapkan sebagai tersangka. Bareskrim Polri malah meloncat menyidik perkara sertifikat laut, yang baru belakangan diketahui setelah Nelayan Holid mengungkap ada 300 sertifikat di laut, dan kemudian Menteri ATR BPN mengakui ada 263 SHGB dan 17 SHM di laut.

Padahal, kasus pagar laut di Bekasi yang baru belakangan ramai (tepatnya di Desa Segara Jaya, Kecamatan Tarumajaya, Kab Bekasi) sudah ditemukan pelakunya. Pembongkaran pagar laut di Bekasi, juga dibebankan kepada pelaku pemagaran (PT TRPN).

Lalu, kenapa kasus pagar laut di perairan laut Tangerang belum juga ditemukan? Apakah, pagar laut di Tangerang dilakukan oleh jin sehingga tidak diketahui dan tidak disidik oleh Bareskrim Polri?

Kedua, boleh saja polisi menyidik kasus sertifikat laut, bahkan ini kewajiban polisi karena pagar laut dan sertifikat laut, keduanya adalah kejahatan. Hanya saja, kenapa polisi hanya menindak Kasus sertifikat laut dengan Pasal 263 KUHP dan 266 KUHP Jo Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP?

Kenapa Polisi tidak mengusut kejahatan pagar laut dengan Pasal 98 UU Nom 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan, dengan ancaman pidana minimal 3 tahun maksimal 10 tahun dan denda minimal 3 miliar maksimal 10 miliar? Pagar laut dengan beban berupa kantung pasir untuk tujuan membentuk sedimentasi, jelas melanggar kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, meliputi kerusakan ekosistem laut.

Padahal, selain bisa memenjarakan pelaku polisi juga bisa menuntut pidana denda hingga 10 miliar. Bukan cuma 18 juta per KM, seperti dilansir Kementerian KKP.

Ketiga, pengusutan kasus pagar laut memudahkan Polisi mengusut otak atau dalang pagar laut, yakni Agung Sedayu Group (PIK-2), yakni dengan motif untuk menguasai secara fisik wilayah laut yang ada sertifikat-sertifikat yang mereka miliki. Pintunya, melalu Mandor Memet selaku pelaksana proyek pagar laut, Eng Cun alias Gojali dan Ali Hanafiah Lijaya yang terhubung dengan PIK-2 (Aguan).

Jadi, melalui penyidikan kasus pagar laut juga otomatis akan terungkap kasus sertifikat laut. Kalau yang disidik hanya sertifikat laut, maka hal ini memungkinkan Agung Sedayu Group (AGUAN) lepas dari jerat hukuman, dan hanya akan menumbalkan pihak Desa hingga BPN. Skenario pengusutan sertifikat laut pun, hanya dilokalisir di Desa Kohod.

Jadi, mohon maaf jika penulis menyimpulkan pengusutan kasus sertifikat laut dengan mengabaikan kasus pagar laut oleh Bareskrim, patut diduga adalah bagian dari skenario penyelamatan Oligarki (PIK-2, Aguan dan Anthony Salim), dengan hanya menumbalkan sebagai kecil aktor lapangan. Status tersangka Arsin Kades Kohod, nantinya akan di blow up sebagai prestasi pengungkapan kasus pagar laut. Bukankah hal ini harus kita cegah? Bukankah, seluruh rakyat menghendaki kasus pagar laut dan sertifikat laut PIK-2 diusut tuntas hingga ke akar-akarnya? [].

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News