Oleh: Untung Nursetiawan, Pemerhati Sosial Kota Pekalongan
Mandeg dan tidak jelasnya penyelesaian kasus penggelapan uang nasabah senilai Rp. 87 miliar oleh pengurus BMT Mitra Umat Pekalongan adalah tamparan keras bagi sistem pengawasan dan perlindungan keuangan di Indonesia, khususnya di Kota Pekalongan Jawa Tengah. Harapan 23 ribu nasabah korban yang ingin mendapatkan kembali uang mereka justru pupus akibat ketidakpedulian pemerintah daerah. Pemkot Pekalongan, DPRD Kota Pekalongan, APH kota Pekalongan dan Dinas Koperasi Provinsi Jateng yang seharusnya bertanggung jawab malah terkesan abai dan enggan turun tangan untuk menyelesaikan masalah ini. Alih-alih memberikan solusi, mereka justru saling lempar tanggung jawab.
Selama 11 bulan berjuang, nasabah hanya mendapatkan janji-janji kosong. Terakhir audiensi di DPRD Provinsi Jateng pada 16 Januari 2025 yang diharapkan membawa titik terang justru menjadi ajang politik (gimmick) tanpa hasil nyata. Dinas Koperasi Provinsi Jateng, yang memiliki tugas dan tanggung jawab mengawasi koperasi dan BMT, menolak melakukan audit dengan alasan klasik: tidak ada anggaran. DPRD Provinsi pun tak jauh berbeda, hanya memberikan retorika tanpa langkah konkret. Ironisnya, saat pertama kali kasus ini diadukan ke Pemkot Pekalongan, nasabah mendapat jawaban bahwa ini adalah urusan pemerintah provinsi. Namun, ketika mereka mengadu ke provinsi, alasan yang sama kembali diulang: “bukan wewenang kami” pihak kepolisian juga sama, sejak laporan nasabah tanggal 3 Agustus 2024, sama sekali tidak ada tindak lanjutnya,, madeg greg.
Kalau dari pemkot Pekalongan hingga pemprov Jateng berujar ini bukan wewenang kami, terus ini wewenangnya siapa? buat apa ada instansi pemerintah yang habisin anggaran untuk menggaji mereka ketika ada masalah yang menyangkut hajat hidup orang banyak saling lempar tanggung jawab?
Kasus ini bukan sekadar penggelapan uang saja, melainkan juga mencerminkan kegagalan sistem pengawasan terhadap lembaga keuangan berbasis syariah seperti BMT. Seharusnya, Dinas Koperasi dalam hal ini Dinkop provinsi Jateng memiliki mekanisme yang ketat dalam mengawasi aktivitas keuangan BMT agar tidak terjadi praktik-praktik curang yang merugikan nasabah (masyarakat). Namun, faktanya, lemahnya pengawasan telah membuka celah bagi pengurus BMT Mitra Umat untuk melakukan penyelewengan dana dalam jumlah yang sangat besar, 87 miliar.
Tidak adanya audit dari pemerintah menimbulkan pertanyaan besar: apakah ada kepentingan tertentu yang ingin dilindungi? Jika memang benar-benar tidak ada anggaran untuk melakukan audit, apakah pemerintah tidak bisa mencari solusi alternatif? Mengapa nasabah yang sudah menjadi korban justru dihadapkan pada ketidakjelasan, sementara pihak yang bertanggung jawab atas pengawasan tetap bisa berkelit tanpa konsekuensi?
Situasi ini semakin mempertegas bahwa sistem perlindungan keuangan di tingkat daerah masih sangat lemah. Jika kasus ini tidak segera diselesaikan, bukan tidak mungkin kasus serupa akan kembali terulang, dan semakin banyak masyarakat kecil yang menjadi korban.
Kasus penggelapan uang nasabah oleh BMT Mitra Umat ini adalah cermin nyata betapa lemahnya perlindungan terhadap nasabah (masyarakat) dan kurangnya keberpihakan pemerintah dan APH terhadap masyarakat kecil. Jika kasus ini tidak segera ditangani dengan serius, maka kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan sistem keuangan syariah akan semakin runtuh.
Nasabah korban yang sudah hampir satu tahun berjuang berhak mendapatkan keadilan. Jika para pejabat yang berwenang tidak segera bertindak, maka mereka sejatinya turut berkontribusi dalam melanggengkan ketidakadilan ini. Nasabah (masyarakat) harus terus bersuara dan berjuang hingga kasus ini menemukan titik terang dan hak-hak mereka dapat dikembalikan sepenuhnya. Semoga ada keajaiban yang berpihak kepada rakyat kecil. Ketidakadilan ini begitu menyesakkan hati para korban. Kini mereka dihadapkan pada realitas pahit bahwa mereka harus mencari keadilan sendiri.
Kasus penggelapan dana Rp87 miliar oleh pengurus BMT Mitra Umat Pekalongan telah menunjukkan betapa lemahnya tanggung jawab pemerintah dalam melindungi hak masyarakat. Pemkot Pekalongan, DPRD Kota Pekalongan, dan Dinas Koperasi Provinsi Jateng, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menyelesaikan kasus ini, justru memilih untuk menghindar dan saling lempar tanggung jawab.