Oleh: Rokhmat Widodo, Guru SMK Luqmanul Hakim Kudus, Kader Muhammadiyah Kudus
Kita semua tahu, pendidikan adalah kunci kemajuan bangsa. Tapi, kunci itu terasa berat digenggam ketika kita melihat nasib para guru honorer di Indonesia. Mereka, pahlawan tanpa tanda jasa yang setiap hari berjuang mendidik generasi penerus, justru dihadapkan pada ketidakpastian yang mengkhawatirkan. Di bawah kepemimpinan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim, dan kini diteruskan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti, janji-janji manis tentang peningkatan kesejahteraan guru honorer seakan hanya menjadi fatamorgana. Kejelasan nasib mereka masih jauh dari kata terwujud. Apakah ini sebuah kegagalan? Atau mungkin, ada hal lain yang tersembunyi di balik ketidakjelasan ini?
Semua sepakat, guru honorer adalah tulang punggung pendidikan di Indonesia. Jumlah mereka yang sangat besar, tersebar di berbagai pelosok negeri, menunjukkan betapa vital peran mereka dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Mereka mengajar di sekolah-sekolah terpencil dengan gaji yang jauh dari layak, fasilitas yang minim, dan masa depan yang tak menentu. Mereka rela berkorban demi mendidik anak-anak bangsa, meski harus berjuang melawan keterbatasan ekonomi dan sosial. Dedikasi mereka patut diacungi jempol, namun sayangnya, dedikasi itu tak dibalas dengan kebijakan yang adil dan jelas.
Janji-janji pengangkatan menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) berulang kali disampaikan, namun realisasinya masih jauh panggang dari api. Proses seleksi yang panjang dan rumit, persyaratan yang ketat, serta kuota yang terbatas membuat banyak guru honorer gigit jari. Mereka bertahun-tahun mengabdi, berharap bisa mendapatkan kepastian masa depan, namun harapan itu seringkali pupus. Kecemasan dan kekhawatiran terus menghantui mereka, menciptakan ketidakpastian yang berdampak pada kualitas pendidikan yang mereka berikan. Bagaimana mereka bisa fokus mengajar dengan baik jika beban pikiran tentang masa depan terus menggelayut?
Perlu diakui, pemerintah telah berupaya melakukan berbagai program untuk meningkatkan kesejahteraan guru honorer. Namun, upaya tersebut masih belum cukup signifikan untuk mengatasi permasalahan yang kompleks ini. Banyak guru honorer yang masih menerima gaji jauh di bawah UMR, bahkan ada yang hanya mendapat bayaran ratusan ribu rupiah per bulan. Bagaimana mereka bisa mencukupi kebutuhan hidup dan keluarganya dengan penghasilan seminim itu? Bagaimana mereka bisa meningkatkan kualitas diri dan kompetensi mereka jika terbebani oleh masalah ekonomi?
Permasalahan ini bukan hanya tentang angka dan data, tetapi tentang manusia di balik angka-angka tersebut. Ini tentang harapan, mimpi, dan masa depan para guru honorer yang terkatung-katung. Ini tentang masa depan pendidikan Indonesia yang bergantung pada kesejahteraan para pendidiknya. Ketidakjelasan nasib guru honorer menunjukkan adanya kegagalan dalam manajemen dan kebijakan pemerintah.
Lalu, apa yang harus dilakukan? Pertama, pemerintah harus berani dan jujur menentukan jumlah guru honorer yang akan diangkat menjadi PPPK. Jangan ada lagi permainan angka dan janji-janji yang tak terwujud. Kedua, proses seleksi PPPK harus lebih transparan dan akuntabel. Jangan sampai ada kecurangan dan diskriminasi yang merugikan guru honorer yang telah bertahun-tahun mengabdi. Ketiga, pemerintah harus memberikan pelatihan dan pengembangan profesional bagi guru honorer agar kualitas pendidikan terus meningkat. Keempat, pemerintah juga perlu memastikan kesejahteraan guru honorer yang belum diangkat menjadi PPPK, misalnya dengan memberikan insentif yang layak dan menjamin akses terhadap jaminan kesehatan.
Mendikdasmen Abdul Mu’ti, sebagai pemegang otoritas di bidang pendidikan, harus menunjukkan komitmen yang nyata untuk menyelesaikan permasalahan ini. Jangan hanya sekadar berjanji, tetapi harus beraksi. Ketidakjelasan nasib guru honorer bukan hanya mencoreng citra pemerintah, tetapi juga merugikan masa depan pendidikan Indonesia. Tindakan nyata, bukan hanya retorika, yang dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan ini. Para guru honorer layak mendapatkan kepastian dan keadilan. Mereka berhak mendapatkan penghidupan yang layak dan masa depan yang cerah, selayaknya pahlawan tanpa tanda jasa yang telah berkorban demi mencerdaskan generasi penerus bangsa.
Penulis berharap, di bawah kepemimpinan Abdul Mu’ti, nasib guru honorer segera mendapatkan titik terang. Kejelasan, keadilan, dan kesejahteraan adalah hak mereka, bukan sekadar janji.
Semoga tidak lagi diwarnai dengan ketidakpastian dan kekhawatiran para guru honorer, tetapi dipenuhi dengan optimisme dan harapan akan masa depan yang lebih baik. Pendidikan yang berkualitas hanya bisa terwujud jika para pendidiknya dihargai dan diayomi. Itulah tanggung jawab kita bersama.