MK: Mahkamah Kosong, Hanya Menjual Mimpi Perubahan Via Pilpres Non-Threshold

Oleh: Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik

“Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” [Kutipan Amar Putusan MK]

Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas atau presidential threshold minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional di pemilu sebelumnya sebagai syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. MK menyatakan semua partai politik peserta pemilu memiliki kesempatan untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Putusan yang dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo pada perkara 62/PUU-XXI/2023, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025) sejatinya adalah putusan kosong. Tidak memiliki makna secara konstitusional untuk merubah dan memperbaiki kondisi negara dan rakyatnya.

Mengapa demikian?

Sederhana saja.

Pertama, MK telah mengelabui dan membohongi publik dengan berbagai putusan yang menolak gugatan (uji materiil) batas ambang pencalonan Presiden (Presidential Threshold). Perkara ini, berulangkali diuji dan berulangkali ditolak MK.

Alasan penolakan juga klasik. Dari soal legal standing, hingga dalih Open Legacy Policy. Alasan penolakan ini, sudah menjadi kaidah repetisi MK menumbangkan upaya untuk menghapus Threshold Pilpres.

Tiba-tiba, hari ini MK menyatakan Pasal yang mengatur batas ambang pencalonan Presiden (Presidential Threshold) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Padahal, berulangkali Pasal mengenai ini diuji dan berulangkali ditolak MK.

Itu artinya, MK telah membuat putusan yang inkonsisten dan inkonstitusional pada putusan-putusan MK sebelumnya. Jadi, MK sejatinya telah meruntuhkan konstitusi melalui putusan-putusan sebelumnya, dan hari ini MK mencoba menegakkan benang basah, dengan mengabulkan permohonan uji materi ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.

Kedua, putusan ini tidak bernilai karena Pilpres telah selesai dengan menghasilkan pemimpin omon-omon dan penjaja susu keliling. Gawe Pilpres 2024 sudah usai, jadi putusan MK ini tidak mengubah apapun dalam konstelasi kepemimpinan nasional. Tidak bisa membatalkan Wapres fufufafa.

Kalau mau diterapkan, putusan ini menunggu hingga Pilpres 2029. Padahal, sebelum Pilpres 2029 berlangsung, para politisi dan Parpol di DPR RI dapat dengan mudahnya menegasikan putusan MK melalui perubahan UU Pemilu. Modus yang banyak dilakukan DPR dalam mengangkangi putusan MK, dengan melakukan perubahan norma UU.

Ketiga, dosa konstitusi MK terlalu banyak dan mengorbankan kepentingan banyak rakyat, Bangsa dan Negara. Misalnya, dalam putusan No. 90 yang meloloskan Gibran sebagai Capres, adalah legacy abadi putusan cacat konstitusi pruduk MK, yang semestinya menjadi garda konstitusi malah membobol Konstitusi.

Aib pembobolan konstitusi itu, harus diterima oleh segenap rakyat Indonesia. Segenap rakyat harus menanggung aib memiliki wapres fufufafa, yang diloloskan maju Pilpres oleh putusan MK.

Jadi, MK tidak bisa mencuci dosa sejarah dengan putusan penghapusan ambang batas Pilpres ini.

Yang lebih parah, MK hanya mengedarkan mimpi Pilpres yang equal, yang seolah-olah akan memperbaiki masa depan bangsa Indonesia. Padahal, cacat bawaan demokrasi baik dengan Pilpres langsung maupun DPR, baik dengan ambang batas atau nol batas, semuanya tetap menerapkan sekulerisme yang menentang hukum Allah SWT.

Umat Islam tidak boleh tertipu oleh tipu daya demokrasi yang sudah terbongkar bobroknya di Pemilu dan Pilpres 2024. Umat Islam juga tak perlu tergiur dengan narasi perubahan melalui Pilpres, melalui mimpi yang dijanjikan oleh putusan MK.

Sebaliknya, umat Islam harus semakin sadar bahwa hanya Islam, syariah yang diperjuangkan dengan dakwah melalui tegaknya institusi Khilafah, sebagai satu-satunya metode praktis untuk taat kepada Allah SWT dan menerapkan hukum-hukum-Nya. [].

Simak berita dan artikel lainnya di Google News