Belajar dari Prancis, Kenaikan PPN di Era Prabowo Dapat Menurunkan Kepercayaan

Penulis: Agusto Sulistio – AstabratA Institute.

Kebijakan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sering menjadi solusi cepat untuk menambah pendapatan negara, terutama di tengah krisis ekonomi. Namun, pengalaman Prancis di bawah Francois Hollande menunjukkan bahwa langkah ini dapat menjadi pedang bermata dua, memperbaiki anggaran negara di satu sisi, tetapi merusak stabilitas sosial dan politik di sisi lain.

Pada tahun 2012, Prancis menghadapi titik kritis dalam sejarah ekonominya. Francois Hollande, presiden dari Partai Sosialis yang baru terpilih, mengambil alih tampuk kekuasaan dengan janji besar, memperbaiki defisit anggaran yang membengkak dan mengembalikan kestabilan ekonomi negara. Namun, langkah awal kepemimpinannya justru menuai kontroversi besar. Di tengah protes masyarakat dan ekonomi yang lesu, Hollande memutuskan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Prancis saat itu sedang bergulat dengan krisis ekonomi yang diwarisi dari pemerintahan Nicolas Sarkozy. Defisit anggaran 4,8% dari PDB, jauh melampaui batas aman Uni Eropa sebesar 3%. Tak hanya itu, utang nasional hampir menyentuh 90% dari PDB, memaksa pemerintah mencari cara untuk menambah pemasukan negara.

Dalam situasi tersebut, Hollande memutuskan menaikkan PPN dari 19,6% menjadi 20% untuk kategori umum, mulai berlaku pada 1 Januari 2014. Namun, kebijakan tersebut tidak diterima begitu saja. Pada November 2013, gelombang protes melanda Paris dan berbagai kota besar di Prancis. Serikat buruh seperti CGT dan FO memimpin demonstrasi, mengkritik kebijakan yang dianggap memberatkan rakyat kecil.

Di sisi lain, kenaikan PPN memicu inflasi. Harga barang dan jasa meningkat, sementara daya beli masyarakat menurun. Bagi keluarga berpenghasilan rendah, kebijakan ini menjadi pukulan telak, terutama ketika tingkat pengangguran sudah berada di angka 10,3%.

Kini, Indonesia menghadapi dilema serupa. Di bawah pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto, rencana menaikkan PPN dari 11% menjadi 12% menjadi sorotan tajam ditengah Idonesia menghadapi sejumlah tantangan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang stagnan, utang luar negeri yang meningkat, serta dampak pandemi yang masih terasa menjadi beban berat. Pemerintahan Jokowi sebelumnya telah mewarisi banyak persoalan, defisit anggaran yang besar akibat pembiayaan infrastruktur masif, sementara pendapatan negara belum mampu mengejar laju belanja negara.

Dalam situasi ini, menaikkan PPN dipandang sebagai solusi cepat untuk memperbaiki neraca fiskal. Dengan kontribusi PPN yang signifikan terhadap pendapatan negara, kenaikan tarif dari 11% ke 12% diharapkan menambah miliaran rupiah ke kas negara. Namun, pertanyaannya: apakah rakyat siap menanggung beban ini?

Potensi Dampak Sosial dan Ekonomi

Dari berbagai sumber atas kejadia serupa diberbagai negara, penulis menrangkum potensi dampak sosial ekonomi yang akan muncul dari kebijakan menaikkan PPN dimasa ekonomi yang lemah. Bahwa kenaikan PPN akan langsung berdampak pada harga barang dan jasa, yang berpotensi memperburuk daya beli masyarakat, terutama bagi kelas menengah ke bawah. Di tengah inflasi yang sudah meningkat, tambahan pajak ini akan terasa berat, terutama bagi mereka yang pendapatannya stagnan atau menurun.

Belajar dari pengalaman kenaikan PPN di Prancis, memicu resistensi luas, baik dari masyarakat maupun organisasi buruh. Dalam konteks Indonesia, di mana kesenjangan sosial masih tinggi, protes besar kemungkinan tidak dapat dihindari.

Bahwa keputusan yang dianggap tidak berpihak pada rakyat dapat merusak legitimasi pemerintahan Prabowo yang masih berada di fase awal. Jika tidak dikelola dengan baik, ini dapat menggerus kepercayaan publik dan memperburuk stabilitas politik.

Kenaikan PPN sebagai solusi fiskal memang memiliki logika ekonomi yang kuat, tetapi kebijakan ini cenderung regresif, yaitu memberatkan rakyat kecil lebih dari kelompok berpenghasilan tinggi. Hal ini bertentangan dengan semangat pemerintahan baru untuk menghadirkan keadilan sosial dan ekonomi.

Jika langkah ini tetap dilakukan tanpa mitigasi yang memadai, pemerintah berisiko mengulangi kesalahan yang dialami Prancis, di mana keuntungan jangka pendek dari pendapatan pajak harus dibayar dengan instabilitas sosial dan politik jangka panjang.

Saran Objektif

Dari berbagai sumber terpercaya untuk menghindari kejadian serupa di Prancis maka sebaiknya Pemerintah fokus pada upaya penguatan daya beli masyarakat terlebih dahulu. Misalnya, melalui subsidi bahan pokok atau bantuan sosial, sehingga masyarakat siap menghadapi kenaikan pajak di masa mendatang.

Sebelum menaikkan tarif, pemerintah bisa memperbaiki sistem perpajakan dengan menekan kebocoran pajak dan memperluas basis pajak, misalnya dengan mendigitalisasi sistem administrasi pajak.

Pemerintah harus memastikan bahwa rakyat memahami alasan kenaikan PPN dan bagaimana hasilnya akan digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Transparansi anggaran sangat penting untuk membangun kepercayaan publik. Untuk mengurangi dampak negatif pada sektor ekonomi, pemerintah dapat memberikan insentif pajak bagi usaha kecil dan menengah (UKM) serta sektor yang menopang ekonomi rakyat.

Kenaikan PPN bukan sekadar soal angka, melainkan keputusan yang memengaruhi kehidupan jutaan rakyat. Pemerintahan Prabowo harus belajar dari sejarah, termasuk pengalaman Prancis, bahwa kebijakan ekonomi yang efektif harus selaras dengan sensitivitas sosial dan politik. Hanya dengan pendekatan yang adil, inklusif, dan transparan, Indonesia dapat melewati krisis ekonomi tanpa mengorbankan stabilitas sosial.

Kalibata, Rabu 25 Desember 2024, 08:50 Wib.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News