Oleh: Memet Hakim, Dosen LB Universitas Padjadjaran, Wanhat Aliansi Profesional Indonesia Bangkit & APP-TNI
Tanaman kelapa sawit yang ditanam nsaat ini adalah tanaman hibrida yakni tanaman hasil persilangan antara 2 varitas yakni Dura x Fisifera. Baik Dura dan Fisifera juga banyak jenisnya, sehingga setiap persilangan akan menghasilkan potensi produksi yang berbeda. Secara umum potensi produksi kelapa sawit itu adalah 40-45 ton tbs/ha, saat ini produktivitas seperti itu hanya diperoleh pada skala percobaan saja.
Didalam skala praktek atau skala besar pencapaian sebanyak 80 % dari potensi diatas sudah baik sekali, artinya produktivitas sebanyak 32 – 36 ton/ha dapat dicapai. Rerata produktivitas nasional masih sekitar 13-14 ton tbs/ha/tahun (31-32 % dari potensi), masih sangat rendah. Memang faktanya di lapangan banyak kebun rakyat dan Perkebunan besar yang tidak dipupuk sama sekali, sehingga produktivitasnya < 10 ton/ha/tahun. Didaerah iklim munson yang bulan keringnya tegas, bahkan sampai 7 ton tbs/ha/tahun. Di BUMN sekalipun kadang pemupukan hanya sekedarnya saja, karena merasa rugi jika memupuk, akibat harganya mahal dan memerlukan dana yang besar (sekitar 50 % dari biaya perawatan tanaman).
Nah jika produktivitas tanaman rendah semuanya merugi, petani/pengusahanya rugi, pemerintah juga rugi, karena Pajak Ekspor dan Bea Keluarnya juga sedikit, belum lagi peredaran uang di sekitar kebun menjadi kecil. Padahal jika mengetahui ilmunya, tentu mereka akan berlomba memupuk, semakin besar pupuk yang diberikan (sampai batas tertentu), akan semakin besar laba usaha taninya. Titik Efisiensi Teknis dan Titik Efisiensi Ekonomis dapat dihitung, tidak sulit menghitungnya, tetapi memang harus ada percobaan terlebih dahulu, sehingga ada pedoman. Secara praktis dan didukung oleh pengalaman di lapangan, berdasarkan harga jual minyak sawit dan harga pupuk, maka dosis optimal yang paling menguntungkan dapat dicari.
Untuk meningkatkan produksi, secara praktis ada 2 cara sederhana dan mudah dilakukan, walaupun faktor-faktor lain ikut menentukan yakni :
- Menambah dosis pupuk
Diprediksi saat ini penggunaan pupuk reratanya hanya 3 kg/pohon/tahun, sehingga hasilnya hanya berkisar 13 ton tbs/ha atau 2,890 kg/ha minyak sawit, padahal potensinya sampai 40 ton tbs/ha/tahun atau sekitar 10 ton/ha/tahun. Menurut perhitungan penambahan pupuk dari 3 kg/pohon menjadi 10 kg/pohon masih ekonomis, produksinya akan meningkat tajam. Oleh karena itu untuk memotivasi petani dan pengusaha, maka subsidi pupuk sebanyak 10-21 juta ton diperlukan sekali. Subsidi ini akan kembali lagi dalam bentuk pajak (PE,BK, PPn) yang lebih besar
- Menggunakan metoda Production force management, yang dapat meningkatkan daya serap nutrisi, agar pemberian pupuk nya semakin ekonomis, karena kemampuan serap nutrisi semakin besar. Dampaknya adalah peningkatan produksinya lebih tinggi, dan Harga poko produksi lebih rendah produktivitas lebih tinggi
Dengan menghitung keuntungan akibat pemupukan ini, tentu diharapkan tidak ada lagi yang menghindari pembelian pupuk. Tanam kelapa sawit tanpa pemupukan sama saja dengan membuang dana dan menyia-nyiakan investasi. Apalagi tanaman kelapa sawit itu sangat rakus pada pupuk, agar absorpsinya lebih sempurna feeding root harus diperbanyak. Pupuk Nitrogen dan fosfat misalnya umumnya hanya 10 % saja diserap oleh tanaman, daya serap ini dapat ditingkatkan menjadi > 20 %. Itulah perlunya rekayasa teknik agronomi yang memungkinkan daya absorpsi hara diperbesar.
Pada umumnya yang selalu menjadi pedoman adalah biaya produksi dalam Rp/ha, jarang sekali Rp/kg minyak sawit dipertimbangkan. Banyak sekali kasus pemegang keputusan mengabaikan pemupukan, hanya untuk sasaran jangkan pendek. Sebagai gambaran dapat dilihat perhitungannya pada tabel dibawah ini :
Tabel 1. Analisa Biaya Pemupukan
Dari table 1 diatas terlihat semakin tinggi biaya pupuk semakin tinggi pula produktivitasnya dan semakin tinggi keuntungannya. Pupuk 3 kg/pohon menghasilkan produktivitas 13 ton tbs/ha/tahun, pupuk 5 kg/pohon menghasilkan 18 ton tbs/ha/tahun, pupuk 8 kg/pohon menghasilkan 25 ton tbs/ha/tahun dan pupuk 10 kg, menghasilkan 30 ton tbs/ha/tahun. Selisih produksi setelah dikurang biaya pupuk meningkat pula dari 10.26 ton tbs/ha, 13.86 ton tbs/ha, 18 ton tbs/ha dan 22.71 ton tbs/ha, walaupun biaya pemupukan semakin meningkat. Artinya semakin tinggi dosis pupuk, akan semakin tinggi produktivitas buah sawitnya, tapi sudah tentu ada batasnya. Batas optimal itu disebut Titik Efisiensi Ekonomis.
Sebenarnya jika ada suatu perusahaan perkebunan atau milik rakyat menghasilkan minyak sawit dibawah 3 ton/ha/tahun atau sekitar 13-14 ton tbs/ha/tahun, seharusnya pemerintah memberikan pembinaan, agar produktivitasnya menjadi 6-7 ton/ha, karena rendahnya produktivitas ini menyebabkan rendahnya pajak juga. Itulah sebabnya para penyuluh Perkebunan dituntut memiliki pengetahuan tentang bagaimana caranya meningkatkan produktivitas ini.
Coba kita hitung berapa potensi kerugian negara akibat rendahnya produksi Nasional ini. Dengan asumsi luas areal 20 juta ha (termasuk semua lahan Cadangan 3.2 juta ha). Dengan Asumsi Potensi Produktivitas 40 ton tbs/ha/tahun, rendemen minyak CPO 23 %, PKO 2.75 %, areal TBM dan olah tanah 4 tahun @ 800.000 ha/tahun adalah 3.2 juta ha, sehingga lahan produksi menjadi 16.8 juta ton saja. Bea Keluar @ usd 80.3 & Pungutan Ekspor @ usd 109.7 dan kurs Rp 15.500/dollar.
Tabel 2. Kehilangan Potensi Pajak dan Devisa akibat Potensi Produksi tidak tercapai
Dari perhitungan diatas, akibat rendahnya realisasi produksi minyak sawit, ada peluang penghematan Devisa dari minyak sawit saja sebanyak 1.370 trilyun, uang ini seharusnya beredar di daerah untuk menggerakkan roda ekonomi. Selain itu ada peluang pajak (PE, BK dan PPn) sebesar 411 trilyun setiap tahunnya. Disaat pemerintah memerlukan dana dengan menaikan pajak, barangkali cara ini lebih bermanfaat.
Nah jika mensubsidi pupuk buat tanaman pangan termasuk kelapa sawit ini, terlihat tidak ada feed backnya itu suatu pandangan keliru, karena bagaimanapun produksi yang meningkat akan diikuti naiknya pendapatan petani, dan selanjutnya pajak juga akan meningkat. Akan tetapi jika besaran pajak ditambah, yang terjadi adalah kontra produktif, yang miskin akan bertambah miskin, yang kaya akan bertambah kaya.
Bandung, 05 Desember 2024