Oleh: Rokhmat Widodo, Kader Muhammadiyah Kudus
Kasus Miftah Maulana Habiburahman alias Miftah yang beberapa waktu lalu viral, terkait pernyataannya kepada seorang penjual es teh, menjadi sorotan publik dan memicu perdebatan hangat. Bukan hanya soal benar atau salahnya pernyataan Miftah, tetapi lebih dari itu, kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi para pendakwah, khususnya dalam berinteraksi dengan masyarakat. Kita perlu merenungkan bagaimana seharusnya seorang figur publik, apalagi yang bergelar “Gus” dan dianggap sebagai representasi agama, bersikap dan bertutur kata.
Pernyataan Miftah yang dianggap melecehkan penjual es teh sebenarnya hanyalah secuil dari fenomena yang lebih besar. Banyak pendakwah, baik yang terkenal maupun yang tidak, terkadang lupa akan etika dan adab dalam berdakwah. Dalam mengejar popularitas atau ingin menyampaikan pesan agama dengan cara yang dianggap “menarik”, mereka seringkali mengabaikan aspek penting lainnya: kesantunan, empati, dan penghormatan terhadap sesama.
Kejadian ini mengingatkan kita betapa pentingnya menjaga adab dalam berdakwah. Dakwah bukanlah ajang untuk memamerkan keilmuan atau kekuasaan, melainkan sebuah proses mengajak kebaikan dengan cara yang bijaksana. Rasulullah SAW, sebagai suri tauladan utama, selalu bersikap lemah lembut dan santun dalam berdakwah. Beliau tidak pernah merendahkan atau menghina siapapun, bahkan kepada mereka yang menentang ajaran Islam.
Dalam kasus Miftah, meskipun ia mungkin bermaksud untuk bercanda atau sekadar berinteraksi ringan, namun cara penyampaiannya yang kurang tepat justru menimbulkan gejolak. Kata-kata yang terlontar, meskipun mungkin dianggap biasa oleh sebagian orang, dapat melukai perasaan orang lain. Kita perlu mengingat bahwa setiap individu memiliki harga diri dan rasa hormat yang perlu dijaga. Sebagai pendakwah, kita seharusnya menjadi teladan dalam menjaga kesantunan dan menghormati setiap individu, terlepas dari latar belakang dan status sosialnya.
Selain itu, kejadian ini juga menjadi pengingat akan pentingnya memahami konteks. Bercanda boleh saja, tetapi harus memperhatikan waktu dan tempat. Berinteraksi dengan masyarakat harus dilakukan dengan bijak, mempertimbangkan perasaan dan latar belakang mereka. Tidak semua orang memiliki pemahaman yang sama tentang humor, dan yang dianggap lucu oleh satu orang belum tentu lucu bagi orang lain. Ketidakpekaan terhadap konteks dapat berujung pada kesalahpahaman dan bahkan konflik.
Lebih lanjut, kasus ini menunjukkan betapa pentingnya pendakwah untuk terus belajar dan meningkatkan kualitas diri. Dakwah yang efektif bukan hanya sekadar menyampaikan pesan agama, tetapi juga melibatkan kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik, memahami psikologi manusia, dan berempati terhadap situasi orang lain. Seorang pendakwah yang baik adalah mereka yang mampu menyampaikan pesan agama dengan cara yang mudah dipahami, diterima, dan diresapi oleh masyarakat.
Kejadian ini juga mengundang pertanyaan tentang kualitas kontrol sosial dalam dunia dakwah. Apakah ada mekanisme yang cukup efektif untuk mengawasi dan membimbing para pendakwah agar tetap menjalankan dakwahnya dengan baik dan santun? Perlu ada upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan bagi para pendakwah, tidak hanya dari sisi ilmu agama, tetapi juga dari sisi keterampilan komunikasi, etika, dan adab.
Selain itu, peran media sosial juga patut dipertimbangkan. Kecepatan penyebaran informasi di media sosial dapat memperbesar dampak dari suatu kesalahan. Satu pernyataan yang dianggap sepele dapat menjadi viral dan menimbulkan kontroversi besar. Oleh karena itu, para pendakwah perlu lebih berhati-hati dalam menggunakan media sosial dan memperhatikan setiap pernyataan yang mereka sampaikan.
Kasus Miftah bukanlah sekadar kasus individu, melainkan sebuah pelajaran berharga bagi seluruh pendakwah. Kejadian ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga adab, memahami konteks, dan terus meningkatkan kualitas diri dalam berdakwah.
Dakwah yang efektif adalah dakwah yang santun, bijaksana, dan penuh empati. Semoga kejadian ini dapat menjadi momentum untuk memperbaiki cara berdakwah, agar dakwah Islam dapat diterima dengan baik oleh masyarakat dan membawa kebaikan bagi semua.
Mari kita belajar dari kesalahan ini dan menjadikan ini sebagai pelajaran berharga untuk membangun komunikasi yang lebih baik dan penuh toleransi. Semoga ke depannya, para pendakwah dapat menjadi suri tauladan yang benar-benar mencerminkan ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin.