Ajaran Zakat Menyeimbangkan Ibadah dan Kepedulian Sosial

Oleh: Nana Sudiana (Direktur Akademizi)

Ajaran zakat menyeimbangkan antara ibadah dan kepedulian sosial mestinya menjadi perenungan kita semua bahwa, bisa saja suatu ketika Allah dengan cara-Nya akan mengambil kembali semua yang kita miliki, bahkan sangat mungkin tanpa sisa.

Allah selama ini mendidik kita dengan ajaran Nabi-Nya agar kita tunduk dan menyadari bahwa hidup tak hanya memupuk kebaikan diri dengan ibadah individual. Allah lewat firman-Nya, mengajarkan pula agar kita terus berbuat baik dan melibatkan diri dalam dimensi sosial di kehidupan.

Karunia Allah yang dilimpahkan pada kita sering tak disadari adanya. Seolah semua hadir karena hebat dan cerdasnya kita. Padahal anugerah itu sendiri demikian banyak dan melimpah, meliputi segala aspek kehidupan, mulai dari yang fisik sampai nonfisik, mulai dari harta benda hingga kenikmatan yang tak kasat mata seperti kewarasan akal sehat, kesehatan, hingga iman dan Islam kita. Terkait karunia ini, khususnya yang berupa kekayaan, Allah melalui ajaran Islam mengajarkan manusia untuk tidak hanya menerima tapi juga memberi, tak hanya memperoleh tapi juga membagikannya pada mereka yang berhak menerimanya.

Di sinilah anjuran berzakat, berinfak, dan bersedekah menjadi relevan dalam Islam. Karena begitu pentingnya zakat, Islam sampai menjadikannya sebagai salah satu pilar pokok dalam berislam. Setiap umat Islam yang mampu wajib mengeluarkan zakat sebagai bagian dari pelaksanaan rukun Islam yang ketiga.

Artinya, dalam urutan rukun Islam, zakat menempati deret rukun setelah shalat, ibadah yang paling ditekankan dalam Islam karena menjadi cermin dari praktik paling konkret penghambaan kepada Tuhan. Alquran pun sering menggandengkan perintah zakat setelah perintah shalat. Sedikitnya ada 24 tempat ayat Alquran menyebut shalat dan zakat secara beriringan. Contohnya sebagai berikut:

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (QS. Al-Baqarah [2]: 43).

“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 110).

“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (QS. Al-Ma’idah [5]: 55)

Dari beberapa ayat tadi, kita mendapat gambaran bahwa setelah shalat, ibadah berikutnya yang harus kita lakukan adalah zakat. Hal ini menandakan bahwa shalat sebagai ibadah spesial seorang hamba dengan Allah harus pula diikuti dengan kepedulian pada kondisi masyarakat di sekitarnya melalui zakat.

Dengan bahasa lain, umat Islam yang baik adalah mereka yang senantiasa memposisikan secara beriringan antara ibadah individual dan ibadah sosial. Sayangnya, rata-rata tingkat kesadaran untuk berzakat seringkali lebih rendah daripada kesadaran untuk menunaikan shalat.

Barangkali karena ada anggapan “hasil kerja sendiri” dari harta kita yang membuat zakat terasa berat. Belum lagi ditambah keinginan untuk menumpuk kekayaan sebanyak-banyaknya.

Ada godaan yang muncul dibenak kita, harta kita kan diperoleh karena kemampuan dan upaya kita sendiri. Dari sana, terbentuk keyakinan bahwa semakin banyak harta, akan semakin mudah hidup kita.

Cara pandang inilah yang menyesatkan kita secara esensi. Kita akhirnya melupakan bahwa ada hak orang lain yang sedang membutuhkan. Jika demikian, orang-orang yang seharusnya berzakat namun tak menunaikan kewajibannya sama halnya memakan hak orang lain. Dalam konteks ini, lantas apa bedanya mereka dengan koruptor atau pencuri?

Zakat secara bahasa bermakna suci. Harta yang dizakati sesungguhnya dalam rangka proses penyucian atau pembersihan. Tak mengeluarkan sebagian harta yang menjadi hak orang lain ibarat tak membuang kotoran dalam perut bagi orang yang sudah saatnya buang air besar. Sebagian kecil harta tersebut selayak kotoran yang bisa jadi menodai keberkahan seluruh harta benda, menjalarkan penyakit tamak, atau menimbulkan keresahan dirinya sendiri dan orang lain.

Zakat adalah kewajiban yang bisa dilakukan pada bulan apa saja ketika harta sudah memenuhi nishab atau jumlah wajib zakat. Jadi tak perlu menunggu Ramadhan seperti di bulan ini. Zakat, infak, sedekah, dan sejenisnya merupakan ibadah yang utama dalam Islam.

Pahalanya tentu tak sedikit bagi kita. Apalagi saat ditunaikan di bulan Ramadhan. Tentu saja zakat kita amat bermanfaat bagi fakir miskin yang terdampak Covid-19.

Yakinlah zakat yang kita tunaikan tak akan membuat kita miskin. Malahan orang yang berzakat akan ditambah rezekinya dan hartanya jadi lebih berkah. Bukan cuma memiliki keutamaan untuk harta, zakat juga mampu menghapus dosa dan melindungi dari panas hari kiamat.

Saat yang sama, berzakat, infak dan sedekah ditengah tekanan kehidupan bagi masyarakat miskin saat ini akan mempererat tali solidaritas terhadap sesama. Dan kita semestinya tak hanya zakat, infak dan sedekah selalu dikaitkan dengan keharusan di bulan Ramadhan.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News