JAKARTA – Langkah DPR memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2024 mendapat kritik tajam. Keputusan ini dinilai janggal karena RUU tersebut secara mendadak masuk dalam longlist usulan Badan Legislasi (Baleg) DPR. Langkah ini menuai pertanyaan: mengapa kebijakan yang berpotensi membebaskan pelanggar pajak dari tanggung jawab masa lalu menjadi prioritas, sementara RUU Perampasan Aset—yang memiliki dampak besar dalam pemberantasan korupsi—justru diabaikan?
Pengamat Hukum dan Pembangunan Hardjuno Wiwoho menilai keputusan ini sebagai bentuk ketidakseriusan DPR dalam memberantas korupsi.
“RUU Perampasan Aset adalah instrumen penting untuk mengembalikan kerugian negara akibat korupsi dan tindak kejahatan ekonomi lainnya. Tanpa adanya regulasi ini, aset-aset yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat akan terus terhenti di tangan para pelaku kejahatan,” ujar Hardjuno dalam rilis pers Kamis (21/11).
Tidak hanya itu, DPR juga menunjukkan sikap yang kontroversial dalam fit and proper test pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satu calon yang akhirnya terpilih secara terbuka menyatakan keinginannya untuk menghapuskan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Pernyataan tersebut justru mendapat tepuk tangan dari anggota DPR, sebuah ironi mengingat OTT telah menjadi metode yang efektif dalam menangkap para pelaku korupsi.
“OTT adalah salah satu bukti nyata keseriusan lembaga penegak hukum, termasuk KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian, dalam memberantas korupsi,” lanjut Hardjuno.
Ia mencontohkan OTT yang dilakukan Kejaksaan Agung terhadap seorang mantan hakim Mahkamah Agung (MA) dengan barang bukti suap sebesar Rp1 triliun. “Langkah ini menunjukkan bahwa OTT tidak hanya efektif, tetapi juga menjadi pesan moral bahwa hukum bisa menyentuh siapa saja,” tegasnya.
Keputusan untuk tidak memprioritaskan RUU Perampasan Aset menurut Hardjuno sangat melemahkan komitmen pemberantasan korupsi. Padahal, regulasi ini dapat mempercepat proses pengembalian aset negara yang dikorupsi. “RUU ini penting untuk memastikan keadilan. Hasil korupsi harus dikembalikan ke rakyat, bukan justru dibiarkan menjadi aset pribadi yang dinikmati segelintir orang,” ujar Hardjuno.
Lebih lanjut, Hardjuno mempertanyakan alasan mendadak di balik prioritas RUU Pengampunan Pajak. “DPR seharusnya mendahulukan kepentingan yang lebih besar, yakni memberantas korupsi, bukan meloloskan kebijakan yang berpotensi memberikan keuntungan bagi segelintir pelaku pelanggaran pajak,” pungkasnya.