Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PKS, Hendry Munief, mendesak pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menangguhkan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025. Efek negatifnya lebih besar ketimbang manfaat. Termasuk mengganggu cita-cita Indonesia menjadi negara maju pada 2045.
Dia menilai, kebijakan ini bakal berdampak negatif, utamanya terhadap pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). “Pemerintah (harus) mempertimbangkan rencana kenaikan PPN demi menjaga stabilitas ekonomi Indonesia pada 2025. Saat ini, bukan waktu yang tepat untuk menaikkan pajak. Terutama ketika semua pihak tengah berupaya memulihkan ekonomi nasional,” tutur Hendry di Jakarta, Senin (18/11/2024).
Pasca pandemi COVID-19, kata Hendry, perekonomian Indonesia belum sepenuhnya pulih. Dibuktikan dengan melesetnya capaian pajak dari target 2024 sebesar Rp1.988,9 triliun.
“Jika PPN dinaikkan pada tahun 2025, bukan hanya ekonomi yang tidak bertumbuh, tetapi juga bisa menghambat Indonesia dalam upayanya menjadi negara maju,” tegasnya.
Suka atau tidak, Hendry bilang, sektor UMKM memiliki peran besar dalam perekonomian nasional. Seluruh unit usahanya berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nyaris 99 persen.
Pada 2023, jumlah pelaku UMKM tercatat sekitar 66 juta, dengan kontribusi terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebesar 61 persen, atau setara Rp 9.580 triliun.
“Yang pertama merasakan dampak kenaikan pajak ini adalah sektor UMKM, baik yang mandiri maupun yang berfungsi sebagai mitra atau pendukung industri besar. Logikanya, kenaikan pajak ini akan berdampak pada 61 persen perekonomian nasional,” ungkap dia.
Selain itu, ia menilai penurunan daya beli masyarakat juga akan meningkat seiring diberlakukannya kebijakan ini. Terlebih, lanjut Hendry, sekitar 60 persen perekonomian Indonesia masih bergantung pada sektor konsumsi, khususnya dari kelas menengah ke bawah yang memiliki karakteristik konsumtif.
“Dalam lima tahun terakhir, kita kehilangan 9,48 juta orang dari kelas menengah. Jika kenaikan PPN tetap dilaksanakan, kelas bawah akan semakin bertambah dan ini berbahaya bagi ekonomi kita,” ujarnya.
Politikus muda PKS ini, mengusulkan agar pemerintah mencari alternatif dalam rangka mengerek naik pendapatan negara. Tentunya upaya itu tidak semakin memberatkan beban masyarakat khususnya kelas menengah ke bawah yang sedang terpuruk.
“Masih banyak instrumen fiskal yang bisa dimaksimalkan, seperti penguatan pajak penghasilan bagi sektor-sektor yang masih bertahan atau peningkatan penerimaan dari sektor pertambangan dan ekspor komoditas. Cara-cara ini lebih elegan dan tidak langsung membebani daya beli masyarakat,” tandasnya.
Pada Kamis (14/11/2024), Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyebutkan, kenaikan PPN menjadi 12 persen diberlakukan mulai 1 Januari 2025, sebagai mandat Undang-undang (UU) No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Pajak (HPP).
Dia menegaskan penyusunan kebijakan perpajakan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi di berbagai sektor. “Artinya, ketika kami membuat kebijakan mengenai perpajakan, termasuk PPN ini, bukannya dilakukan dengan membabi buta dan seolah tidak punya afirmasi atau perhatian terhadap sektor lain, seperti kesehatan dan bahkan waktu itu termasuk makanan pokok,” kata Sri Mulyani.
Menurut Sri Mulyani, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dijaga kesehatannya. “Seperti ketika terjadinya krisis keuangan global dan pandemi, itu kami gunakan APBN,” ujarnya.