Era Sosmed bukan Era Koran Jadul, Represi Kebebasan Publik oleh Aguan Justru akan Menambah Antipati Publik

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H, Advokat

Aguan melalui anak usaha Agung Sedayu Group, yakni PT Sedayu Sejahtera Abadi (PT SSA), mensomasi portal Suara Nasional agar menghapus (takedown) artikel yang saya buat dengan judul ‘AGUAN KAMUFLASE AKAN BANGUN MASJID, HANYA UNTUK MEREDAM KEMARAHAN RAKYAT ATAS PERAMPASAN TANAH DI PIK 2’. Padahal, kebebasan berpendapat di Republik ini dijamin, bagian dari hak konstitusi.

Merespons somasi tersebut, portal berita Suara Nasional langsung menghapus dan meminta maaf. Saya, bisa memahami kebijakan portal, karena memang tidak nyaman menjalankan fungsi jurnalisme di bawah represi berdalih somasi.

Saya sendiri, telah merespons tindakan Agung Sedayu Group melalui PT SSA dengan mengunggah artikel dengan judul ‘AGUAN SEBAIKNYA BICARA LANGSUNG KE SAYA, TIDAK PERLU MENYAMPING DENGAN MENSOMASI PENGELOLA PORTAL SUARA NASIONAL’. Karena salah satu dasar permintaan menghapus artikel, dianggap mencemarkan Aguan.

Saya sudah jelaskan, bahwa hak sanggah dalam ruang jurnalisme, semestinya yang ditempuh. Bukan somasi. Apalagi, somasi yang telah ditindaklanjuti dengan penghapusan artikel, tidak bisa membendung substansi artikel, yang isinya sudah beredar kemana-mana.

Karena setiap mengunggah artikel, saya tidak pernah menggantungkan peredarannya pada portal berita. Ada yang beredar via GWA, telegram, Facebook, Youtube, dll.

Artikel juga diedarkan secara berantai via japri (jaringan pribadi), baik dikalangan aktivis, ulama, tokoh, kiyai hingga lingkaran pejabat. Artikel yang beredar ini, tidak bisa dihapus dan dicabut, meski suara nasional telah men-takedown. Jadi, percuma saja di takedown.

Era now, adalah era sosmed. Bukan era koran kertas seperti tempo dulu. Dulu, koran di breidel, berita tak beredar. Sekarang?

Represifme di ruang sosial media, justru akan menambah simpati pada pihak yang direpresi dan menimbulkan antipati pada pihak yang merepresi. Kritik terhadap kezaliman proyek PIK 2, tidak akan berhenti. Penghapusan artikel di Suara Nasional, tidak akan menghapus jejak kezaliman proyek oligarki property yang menyengsarakan rakyat Banten ini.

Lagipula, soal proyek PIK 2 bermasalah dan menimbulkan banyak kerugian, itu sudah menjadi pengetahuan publik. Proyek PIK merugikan rakyat dan Negara.

Rakyat mengalami kerugian finansial, sosial dan spiritual. Kerugian spiritual seperti potensi hilangnya syi’ar dakwah Islam, hilangnya ibadah dan kajian Islam di Masjid dan Mushola akibat dampak penggusuran proyek, hilangnya ratiban, maulidan, dll, jelas kerugian yang tidak bisa dikompensasi dengan apapun dan nilai berapapun.

Adapun negara, dirugikan karena potensi pendapatan negara berkurang akibat harga tanah tidak dibayar dengan harga pasar, melainkan hanya ganti rugi sekedarnya. Itu menyebabkan, PPh dan BPHTB dari transaksi peralihan hak tanah, menjadi kecil. Saya sudah menghitung, potensi kerugian negara ini dalam artikel terpisah.

Negara juga dirugikan, karena dampak adanya entitas ‘Negara Dalam Negara’. Kompleks perumahan elit yang ekslusif, akses komplek yang ditutup dengan interaksi publik, jelas menjadikan PIK 2 seolah entitas lain, yang tunduk pada otoritas lain, bukan pada otoritas Negara.

Adapun perjuangan membela SK Budiardjo & Nurlela, tetap akan saya lakukan sepanjang urusannya belum selesai, atau sepanjang tidak dicabut kuasanya. Jadi, Aguan tidak bisa menghentikan tugas pengacara untuk membela kliennya.

Soal Aguan dan Alexander Halim Kusuma semestinya berstatus tersangka tapi sampai saat ini masih melenggang bebas, itu karena perlindungan kekuasaan Jokowi saja. Semoga, dengan pergantian kekuasan, dalam waktu dekat dan tidak terlalu lama, kasus penyerobotan tanah SK Budiardjo & Nurlela, yang oleh Agung Sedayu Group dijadikan komplek perumahan Golf Lake Residence, akan segera ditingkatkan ke penyidikan. [].

Simak berita dan artikel lainnya di Google News