PSN dan PIK 2, Derita Rakyat Banten Terdampak: Menagih Komitmen Kerakyatan Prabowo

O leh: Ahmad Khozinudin, S.H, Advokat

Hari ini Kamis, 7 November 2024, penulis mendapatkan undangan dialog tokoh dari Wartawan Senior Edy Mulyadi. Judul tulisan ini, adalah tema yang diangkat dalam agenda dialog dalam undangan tersebut.

Sejumlah tokoh disebut akan hadir. Diantaranya ada Said Didu, Jendral TNI (Purn) Fachrul Razi, Abraham Samad, Anton Permana, Roy Suryo, Rizal Fadilah, Komjen Pol (Purn) Oegroseno, Mayjen TNI (Purn) Soenarko, Letjen TNI (Purn) Soeharto, Laksamana TNI (Purn) Slamet Subiyanto, dll.

Kritik penetapan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang disematkan pada proyek Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2), sebenarnya sudah banyak penulis sampaikan. Kritik tersebut, setidaknya dari beberapa aspek, yaitu:

Pertama, secara norma peraturan perundangan, proyek PIK 2 bukanlah proyek strategis nasional yang memenuhi unsur ‘meningkatkan kesejahteraan masyarakat’, sehingga proses pengadaan lahannya bisa dilakukan menggunakan mekanisme pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Jo UU Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja.

Karena berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat 6 UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, ditegaskan bahwa ‘Kepentingan Umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.’

Sementara Proyek PIK 2 hanya untuk kepentingan korporasi property, untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran dan kekayaan oligarki property, Aguan dan konco-konconya. Tidak ada kaitannya dengan kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Bahkan, rakyat terdampak di provinsi Banten dirugikan baik secara finansial, sosial dan spiritual.

Secara finansial, masyarakat Banten dirugikan karena harus kehilangan sawah dan tambak, juga pekarangan mereka, yang menjadi sumber penghidupan mereka, yang digusur oleh proyek PIK 2 dengan ganti rugi semaunya. Padahal, dengan ganti rugi yang diberikan mustahil dapat digunakan untuk membeli lahan yang sama ditempat lainnya.

Belum lagi, ganti rugi ini belum tentu didapatkan atau nominalnya jauh lebih kecil lagi karena harus bertarung dengan mafia tanah, baik ditingkat kelurahan, kecamatan, BPN hingga di Pengadilan.

Kerugian sosial, terjadinya pembelahan sosial akibat proyek PIK 2. Sebagian kecil warga yang mau menjadi jongos oligarki property, rela melaporkan warga lainnya ke polisi, mengkriminalisasi pihak pemilik tanah, hanya demi imbalan yang sedikit. Perpecahan ini terjadi, karena modus kriminalisasi terhadap pemilik tanah yang sah, tidak dilakukan langsung oleh oligarki property selaku pengembang, melainkan menggunakan tangan jongos dari oknum warga, oknum kelurahan, ormas, dan elemen masyarakat lainnya yang dibenturkan.

Contoh kongkrit adalah laporan terhadap Said Didu, yang dilaporkan bukan oleh oligarki property melainkan meminjam unsur di masyarakat. Padahal, semua jelas membaca bahwa dibalik pelaporan itu ada kepentingan oligarki property yang membekinginya.

Penulis sendiri punya klien di Desa Tanjung Pasir dan Desa Tegal Angus. Klien penulis, pemilik tanah yang sah, sebagai ahli waris Almarhum DIGUL (Gouw Tjun Wie). Tanahnya diambil oleh oligarki property PIK, menggunakan tangan keluarga DIGUL, sehingga seolah terjadi sengketa dengan pihak lain. Padahal, tanah itu telah ditransaksikan oleh pihak lain dengan korporasi pengelola PIK.

Oligarki Property ada di balik sengketa itu, dan oligarki property yang menyebabkan klien penulis akhirnya masuk penjara, karena mempertahankan haknya. Klien penulis, dikriminalisasi karena menolak menjual tanah dengan harga yang murah, yang sebelumnya ditawarkan oleh oknum dari oligarki property PIK.

Modus menggunakan entitas atau orang lain untuk merampas tanah ini, juga terjadi pada kasus klien penulis yang lain, SK Budiardjo & Nurlela. Menggunakan entitas PT BMJ, oligarki merampas tanah klien penulis, lalu membelinya dari PT BMJ. Seolah, korporasi perampasan tanah ini adalah pembeli beritikad baik yang membeli tanah dari PT BMJ. Padahal, PT BMJ sengaja dibentuk untuk merampas tanah, lalu hasil rampasan tanah ditampung oleh oligarki property mafia tanah ini.

Dan berikutnya, kerugian spiritual. Yakni, potensi hilangnya Syi’ar dakwah Islam, hilangnya local wisdom dalam bentuk pengajian, ratiban, Maulidan, hingga hilangnya kultur sholat berjama’ah di Masjid dan Mushola, karena kawasan kampung dan pedesaan yang lekat dengan kultur Islam, akan diubah menjadi komplek elit yang tak mungkin lagi dijangkau oleh rakyat jelata.

Dititik inilah, kerugian spiritual yang tidak bisa dikonpensasi dengan materi berapapun. Termasuk, tidak bisa dikompensasi dengan politik pencitraan dengan rencana membangun 1 Masjid di Kawasan PIK.

Kedua, secara politik status PSN pada Proyek PIK 2 tidak lepas dari politik balas Budi Jokowi, karena pengembang PIK 2 yakni Agung Sedayu Group (Korporasi Property milik Aguan) telah terlibat dalam proyek ilusi di IKN. Kompensasinya, diberikan label PSN pada Proyek PIK 2 agar pengadaan lahannya bisa langsung gusur, seolah itu proyek Negara untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Jadi, hal inilah yang paling berbahaya. Karena negara, telah dimanfaatkan oleh oligarki untuk menyediakan lahan bisnis untuk keuntungan korporasi mereka, melalui pemberian status PSN.

Ketiga, secara konstitusi kawasan PIK 2 melanggar konstitusi dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia karena berpotensi menjadi kawasan ‘Negara dalam Negara’. Realitas itu, sudah terjadi di Kawasan PIK 1, yang ekslusif, menutup akses dari desa dan perkampungan lainnya, menjadi kawasan yang hanya diakses orang tertentu.

Gara-gara eksklusifitas PIK, penulis kesulitan menjangkau Desa Tanjung Pasir untuk menemui klien penulis. Karena, aksesnya tertutup, hanya ada satu akses yang bisa menghubungkan PIK dengan jalan umum menuju desa Tanjung Pasir. Itupun akses sementara, sebagai pintu untuk masuk material proyek dan akan ditutup setelah proyek selesai.

Realitas PIK layaknya Negara dalam Negara sudah terjadi di Kawasan PIK dan akan pula diterapkan pada kawasan PIK 2. Padahal, di Republik ini tidak boleh ada ‘Negara dalam Negara’.

Karena alasan itulah, penulis tertarik dan akan menghadiri undangan Dialog yang diadakan oleh Wartawan Senior Edy Mulyadi. Dalam forum tersebut, penulis ingin menyampaikan pandangan sekaligus menagih janji Presiden Prabowo, yang dalam berbagai kesempatan menyatakan komitmen untuk membela rakyat, timbul dan tenggelam bersama rakyat. Sudah saatnya, Presiden Prabowo menunjukan keberpihakannya kepada masyarakat kecil, dengan mencabut status PSN pada Proyek PIK 2. [].

Simak berita dan artikel lainnya di Google News