Oleh : Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik
Saat hadir dalam acara bertajuk ‘OPERA JAWA’, ‘ORASI PERGANTIAN RAJA JAWA’, pada Ahad (20/10) di Jakarta, penulis sempat berdiskusi dengan sejumlah tokoh. Diantara materi diskusi itu, adalah menakar masa depan kepemimpinan Prabowo Subianto.
Rata-rata, mayoritas kecewa dengan komposisi calon menteri yang diusung Prabowo. Nama yang diumumkan, jelas mewakili kepentingan politik Jokowi. Kabinet Prabowo, memiliki citra rasa kebinet Jokowi.
Namun, ada salah satu tokoh yang mencoba membangun harapan bahwa 3 atau 6 bulan kedepan Prabowo akan merombak kabinetnya, melakukan reshuffle besar-besaran, untuk membersihkan kabinet dari anasir Jokowi. Jadi, semua diminta bersabar, ini hanya strategi Prabowo saja untuk mengamankan posisinya sebagai Presiden hingga dilantik. Pasca dilantik, Prabowo akan lepas dari kendali Jokowi.
Hanya saja, tokoh tersebut juga kembali meragukan pernyataannya sendiri. Karena apa yang dianalisa sejumlah tokoh, tentang kemungkinan Prabowo akan balik kanan pasca dilantik, juga bukan janji resmi Prabowo. Hanya informasi yang sumbernya kasak-kusuk.
Pada konteks itulah, penulis kembali mengingatkan peristiwa politik 2019 yang lalu. Saat itu, Prabowo secara terbuka berjanji akan timbul dan tenggelam bersama rakyat. Komitmen Prabowo ini jelas disampaikan, bukan sekedar kasak-kusuk.
Namun faktanya, janji yang terbuka kepada rakyat pun dikhianati. Pada akhirnya, Prabowo timbul bersama kekuasaan dan meninggalkan pendukungnya tenggelam sendirian. Dengan hidangan nasi goreng Teuku Umar, akhirnya Prabowo bergabung dengan kabinet Jokowi.
Padahal, mayoritas pendukungnya kala itu menginginkan Prabowo timbul sebagai kekuatan oposisi, berdiri bersama rakyat mengontrol jalannya roda kekuasaan. Tapi apa lacur, Prabowo lebih memilih berdiri disamping Jokowi ketimbang membersamai kekecewaan rakyat yang memilihnya.
Saat itu, Prabowo mendapat posisi sebagai Menteri Pertahanan. Dengan jabatan ini, dibangun lagi narasi bahwa Prabowo hanya berstrategi, nantinya akan ambill alih kekuasaan saat terjadi kevakuman dengan jabatannya sebagai Menhan. Berbagai narasi yang membela Prabowo terus dipropagandakan. Hingga akhirnya, jabatan Menhan itu tak memiliki Taji, hingga akhir kekuasan Prabowo tetap mengabdi dan ta’at pada Jokowi.
Pada kasus KM 50, Prabowo bungkam. Prabowo tidak mengeluarkan sepatah katapun untuk membela HRS yang dikriminalisasi rezim Jokowi. Prabowo tak menggunakan kekuasaannya sebagai Menhan, untuk melindungi sejumlah pendukungnya yang dikriminalisasi Jokowi.
Hari ini, janji Prabowo akan lepas dari Jokowi, akan merombak kabinet dari pengaruh Jokowi, seperti DEJAVU politik saja. Hanya repetisi keadaan, seperti janji Prabowo yang dulu pernah menyatakan akan timbul dan tenggelam bersama rakyat.
Kenapa demikian? Karena kedepan, sepertinya kasak-kusuk rombak kabinet cuma gosip murahan. Sama murahannya, dengan janji Prabowo yang pernah berjanji akan timbul dan tenggelam bersama rakyat.
Alasannya sederhana:
Pertama, Prabowo semestinya pihak yang paling marah dengan kasus fufufafa. Sebab, itu sudah berkaitan dengan harga diri dirinya dan keluarganya. Prabowo bisa menggerakkan kekuatan politiknya untuk membatalkan pelantikan FUFUFAFA, tapi itu tidak dilakukan.
Untuk menjaga Marwah dirinya dan keluarganya saja tak mampu, apalagi menjaga marwah bangsa dan negara, sekaligus melindungi rakyatnya?
Analisis paling sederhana untuk menjelaskan fenomena ini, adalah Prabowo lebih mencintai kekuasaan ketimbang harkat dan martabat diri dan keluarga. Prabowo, tak mau mimpi menjadi Presiden yang sudah diperjuangkan hingga 3 kali Pemilu, hancur luluh karena melawan raja Jawa.
Jadi, tak aneh jika nantinya narasi reshuffle kabinet tidak terjadi kecuali hanya gosip politik murahan. Karena faktanya, saat ini pun Prabowo tak berani keluar dari belenggu Jokowi.
Jika secara terbuka, anda tak melihat ada pembangkangan terhadap Jokowi dihadapan publik. Apalagi di ruang privat? Macan itu mengaum ditengah hutan belantara, bukan di kandang. Kalau dikandang, itu mengembik, bukan mengaum.
Kedua, Prabowo hanyalah bagian kecil dari puzzle rezim dan sistem sekuler yang menguasai negeri ini. Kehendak Jokowi, bukan an sich dirinya, tetapi juga kehendak para bohir dan bandar yang berjasa bersatu memenangkan Prabowo.
Dalam isu kemenangan Pilpres, Jokowi lebih berani untuk tijitibeh ketimbang Prabowo. So, sulit untuk bisa membuat kesimpulan Prabowo akan menjadi macan asia, meskipun digembalakan di hutan luas Indonesia.
Sistem sekuler ini, akan memastikan PRABOWO butuh orang seperti Sri Mulyani. Karena Prabowo tak mungkin memiliki ruang fiskal untuk mengeksekusi program politiknya, kecuali dengan meningkatkan pendapatan.
Peningkatan nilai APBN dalam sistem sekuler itu bersifat klasik. Hanya ada dua cara, meningkatkan pajak dan utang. Sri Mulyani, jagonya menaikan pajak dan utang. Prabowo memang butuh Sri Mulyani untuk menjaga ruang fiskal dengan menaikan pajak dan utang, bukan karena pengaruh Jokowi.
Beda soal, kalau yang diterapkan adalah sistem Islam. Pajak dan utang, bukan sumber pendapatan negara. SDA Indonesia yang melimpah, bisa meningkatkan APBN dalam jumlah yang luar biasa besar.
Namun, SDA melimpah itu baik berupa aneka tambang, hutan, laut, hingga sejumlah harta milik umum lainnya (Al Milkiyatul Ammah), saat ini dikuasai 9 naga yang menjadi bandar Pilpres. Maka mustahil, Prabowo berani ambil alih tambang dan hutan yang saat ini dikuasai 9 naga.
Malahan, boleh jadi Prabowo akan menjadi pelayan yang melanjutkan pelayanan Jokowi. Parameternya sederhana, jika Prabowo tidak membatalkan sejumlah PSN yang merugikan rakyat (seperti Rempang, PIK 3, BSD dan IKN), maka sejatinya Prabowo melanjutkan pelayanan pada oligarki 9 naga, yang sebelumnya dilayani Jokowi.
Ketiga, kekuatan intervensi asing, baik China maupun Amerika, membuat NKRI akan tetap sulit keluar dari belenggu imperialisme modern, meski dibawah kepemimpinan Prabowo. Kapitalisme Amerika dan Kapitalisme China, telah mencengkeram negeri ini terlalu dalam.
Penulis berharap apa yang penulis utarakan ini keliru. Sayangnya, sampai saat ini apa yang penulis sampaikan lebih mudah diyakini ketimbang untuk diingkari. Karena itu, penulis menantang Prabowo untuk membuat keliru pandangan penulis, dengan segera melepaskan diri dari kendali Jokowi.
Yang paling sederhana, Prabowo segera perintahkan Kapolri untuk menyidik kasus ijazah palsu Jokowi. Apakah Prabowo berani? [].