Oleh: Nana Sudiana (Direktur Akademizi)
Semua kita mafhum, bahwa mendidik anak dan generasi muda untuk menjadi atau seperti seorang amil tidak mudah. Amil sebagaimana kita tahu karakter DNA-nya adalah pejuang. Ia terbiasa berkorban untuk orang lain dan mendahulukan kepentingan yang lebih besar.
Dalam konteks kepemimpinan, menjadikan seseorang menjadi amil pada dasarnya sedang menyiapkan sebuah generasi mas’uliyah dengan pundak yang siap menahan beban dakwah. Para amil ini, diharapkan mampu memikul amanah besar dakwah.
Dakwah yang dimaksud di sini tentu saja dakwah zakat dan dakwah Islam secara umum. Para amil yang dididik ini diharapkan juga memilik ibadah yang khsuyuk, punya karakter sabar, jujur dan pemberani. Seorang Ulama menasehati: “Jadilah ahli ibadah sebelum kalian jadi amil”.
Dengan situasi ini, menjadi amil tentu saja tak bisa dilimpahkan pada orang-orang yang urusan dirinya sendiri saja belum selesai. Menjadi amil dengan alasan tadi, tak mungki mampu dipikul oleh generasi rebahan, yang terlalu santai hidupnya dan tanpa motivasi yang kuat untuk membantu dan berkorban bagi sesama.
Dengan besarnya harapan tadi, menjadi amil jelas butuh persiapan panjang serta penyiapan mental yang tak mudah. Dan untuk menguatkan mental anak-anak kita, juga generasi muda amil Indonesia, kita butuh memperkuat dialog dengan anak-anak kita ini.
Dialog ini penting untuk memastikan respon dan kepahaman anak-anak dan generasi muda akan apa yang akan dikerjakan dan dilakukan di masa yang akan datang. Dengan memperbanyak dialog, kita transfer perasaan, keinginan dan harapan secara sadar dalam bingai keyakinan yang sama bahwa masa depan itu akan lebih baik.