Posisi Kedua di PON 2024, KONI Jakarta Dianggap tak Becus

Kontingen Jakarta yang menempati posisi kedua menunjukkan pembinaan olahraga di bawah KONI tidak bagus. Padahal Kontingen Jakarta ditargetkan menempati posisi pertama di PON Aceh-Medan

“Kritik itu wajar saja. Sebagai warga DKI yang memiliki kepedulian terhadap prestasi atlet dan KONI tapi saya ingin melihat masalah ini lebih secara konsepsional yang sampai pada kesimpulan kenapa kontingen dki hanya posisi Runner Up bukan juara umum dan kemudian dengan tidak mencapai target juara umum adalah sebuah kesalahan?,” ungkap Pengamat Kebijakan Publik Amir Hamzah, menanggapi wacana yang berkembang terkait hasil posisi Runner up Kontingen DKI PON XXI Aceh – Medan 2024 yang baru saja usai, Rabu (25/9/2024).

Pertama – tama, Amir melanjutkan, kita harus pahami siapa yang mendorong Kontingen DKI PON XXI Aceh – Medan juara umum? Target juara umum dicanangkan PJ Gubernur Heru Budi Hartono.

Arahan itu, apakah juga sekaligus merupakan perintah?

“Saya melihat yang memberi perintah, PJ Gubernur, adalah sebagai subyek,” kata Amir.

Sementara KONI DKI Jakarta dan kontingen PON DKI – nya merupakan obyek yang harus mencapai target juara umum.

Dalam konteks itu bisa dikatakan bahwa posisi PJ Gubernur sebagai subyek bisa diumpamakan sebagai panglima perang. KONI DKI adalah komandan tempurnya.

Secara logika untuk memenangkan perang maka KONI DKI harus memenangkan pertempuran. Pertempuran itu adalah cabang olahraga – cabang olahraga (cabor) yang dipertandingkan.

Dalam pandangan Amir, ada beberapa faktor yang harus kita pertimbangkan PJ Gubernur sebagai panglima tidak mengetahui kondisi sehingga pada waktu memberi arahan untuk mencapai juara umum, PJ Gubernur tidak mengetahui bagaimana kondisi medan tempur atau medan laganya.

Sedangkan di medan pertandingan kita harus mengkalkulasi pertandingan – pertandingan yang berpotensi menghasilkan medali emas, itu adalah untuk mengetahui cabor – cabor mana yang dikuasai Jawa Barat atau DKI.

Jika jumlah cabor yang dipertandingkan antara DKI dan Jabar sama, berarti ada cabor dari DKI yang menjadi titik lemah. Jika jumlah cabor yang dipertandingan lebih banyak daripada Jawa Barat, maka posisi Runner-up-nya patut dipertanyakan.

Sebaliknya, jika cabor Jawa Barat lebih banyak dari kontingen DKI maka sangat wajar kalau DKI cuma Runner up.

“Dengan demikian maka penilaian posisi yang diraih KONI DKI jangan hanya dikaitkan dengan dana hibah karena tujuan dana hibah untuk tujuan pembinaan dan pengembangan olahraga bukan tolak ukur meraih juara umum,” kata Amir lagi.

Menurut Amir, yang harus diperhatikan adalah apakah hibah ke KONI itu hanya untuk KONI ansich? Ataukah juga untuk pengembangan organisasi cabor.

“Sehingga dengan demikian perlu pula dipertimbangkan pemberian hibah jangan hanya kepada KONI saja tapi langsung ke masing – masing cabor. Jadi dengan demikian meringankan KONI untuk melakukan pembinaan masing – masing cabor,” tandas Amir. *man