Prabowo, Politik Harmonis dan Narasi “The Greatness Of Nation”

Oleh: Ulil Abshar Abdalla, Ketua PBNU

Perkembangan politik yang amat saya suka akhir-akhir ini ialah hubungan yang harmonis antara tiga presiden Indonesia: SBY, Jokowi dan Prabowo.

Suasana rukun dan terlihat secara terbuka seperti ini merupakan “antidote” atau obat penawar terhadap “toxic politics” yg kita rasakan di media sosial, terutama X, dalam beberapa bulan terakhir.

Hubungan harmonis antara para presiden seperti ini sering “underrated”, dianggap remeh. Saya berpikir sebaliknya. Ini hal yang amat penting. Di era media sosial saat ini, friksi dan pertentangan dianggap sebagai hal normal. Keharmonisan dipandang aneh, karena tidak memiliki potensi “engagement” yang tinggi dalam algoritma medsos saat ini.

Sebetulnya ini perkembangan yang agak aneh. Jika Anda ingat, peralihan dari SBY ke Jokowi sepuluh tahun yang lalu tidak seharmonis saat ini. Suasananya agak murang harmonis. Ada “antagonisme” yang tak bisa disembunyikan antara dua sosok SBY dan Jokowi ketika itu.

Dugaan saya karena faktor para pendukung Jokowi militan saat itu. Kalau mau disederhanakan: karena faktor “Projo politics”. Para Jokower ini cenderung membenci SBY, dan ini tampaknya mempengaruhi huhungan SBY dan Jokowi. Lima tahun pertama pemerintahan Jokowi saat itu ditandai dengan narasi “good president” yaitu Jokowi versus presiden yang proyeknya mangkrak, yaitu SBY. Hambalang selalu dijadikan sebagai ikon yang menandai kepresidenan SBY. Seolah-olah tidak ada kebaikan apapun pada SBY. Faktor yang lain, saya kira, adalah PDIP, tapi saya tak mau membahas terlalu banyak hal ini.

Itu suasana periode pertama pemerntahan Jokowi. Masuk ke periode kedua, Jokowi menempuh politik yang 180 derajat berbeda. Jokowi tampak seperti mau menempuh jalannya sendiri. Jokowi merangkul lawan politiinya: Prabowo. Di sini kita melihat politik yg berbeda: bukan antagonisme dan polarisasi, melainkan harmoni dan persahabatan. Gaya politik baru ini bertahan hingga akhir periode kedua pemerintahan Jokowi saat ini.

Selain merangkul Prabowo, Jokowi juga menggandeng SBY melalui puteranya: AHY. Dari politik yang antagonistik, kita menyaksikan politik yang lain: harmoni dan kekompakan. Sementara itu, hari-hari ini Prabowo menambahkan elemen baru kepada politik gaya baru Jokowi ini. Dia, seperti kita lihat melalui pidato-pidatonya akhir-akhir ini, mengatakan, Indonesia bisa menjadi negara besar, dan ini tidak bisa dicapai kecuali dengan kekompakan di antara semua kekuatan politik. Ini ditandai dengan kekompakan semua tokoh-tokohnya.

Narasi “the greatness of nation” dan kekompakan semua kekuatan politik ini akan menandai setidak-setidaknnya lima tahun Indonesia ke depan. Saya senang melihat perkembangan ini. Saya melihat keseriusan Prabowo untuk melanjutkan pembangunan ekonomi ala Jokowi, bahkan dengan “pace” yang lebih cepat untuk merealisasikan mimpi “bangsa besar” dan kemakmuran.

Bagi pihak-pihak yang lebih menekankan aspek kebebasan politik dan demokrasi, tentu perkembangan ini amat mencemaskan. Saya juga berpikir begitu dulu. Tapi saat ini saya memiliki pandangan yang berbeda.

Sekian.